Wednesday, January 9, 2019

Sekolah Keefe

long-post

Sebelum aku jabarkan keinginanku tentang bagaimana aku merencanakan sekolah untuk Keefe, sebagai pembukaan aku mau cerita dulu bagaimana dulu aku saat bersekolah, TK sampai SMA. 

Sebelum cerita sekolah, aku cerita darah yang mengalir dulu lah. Jadi papaku seorang keturunan cina yang dibesarkan secara Katolik. Mama "blasteran" Sunda-Jawa berada ditengah keluarga Islam. Papa menjadi mualaf sebelum menikahi Mama, entah bagaimana prosesnya.

Benar. Dulu aku dibesarkan di tengah keluarga besar Islam dan Katolik. Dulu, tiap tahun juga pasti ikut "merayakan" Imlek. Tentu pula kaya raya mendadak tidak hanya di hari nan fitri tapi juga dengan angpao merah itu. 

Masuk usia sekolah, aku PG dan TK satu sekolah dengan sepupu yang Cina itu dan sudah tentu Katolik di sekolah katolik. 

Aku ngga inget banyak. Tapi yang jelas aku ngga punya ingatan buruk masa sekolah pra-SD. Semua terekam happy. Berenang di sekolah, minum susu di sekolah, pentas seni yang ngga kuingat tapi ada fotonya. 

SD, SMP dan SMA, ini adalah tiga masa di mana aku punya masalah baik dari teman bahkan dari guru. Fyi, ini adalah kali pertama aku cerita di ruang publik. Aku ngga pernah cerita ini ke siapapun bahkan Dicky sekalipun. Seingatku, aku cerita ini cuma ke satu teman dekatku. Mama beberapa kali menceritakan tentang bagaimana dulu aku diperlakukan saat itu ke saudara atau kenalan. Tapi aku diam saja, malas untuk mengingat apalagi menceritakan.

SD. Karena mama takut aku ngga bisa ngaji, maka mama memasukkan aku di SD negeri favorit waktu itu. Cina=Kristen=Kafir. Bahkan meski sudah jelas di buku rapor tertulis ISLAM, aku tetap dapat julukan kafir hanya karena aku cina. Bully-an itu bahkan sempat membuat aku stress, ogah sekolah dan minta pindah ke SD Katolik aja sekalian. Mama dan bibik (tante) bolak-balik ke sekolah "menemui" pembully dan guru. Hingga akhirnya hanya untuk bisa survive aku berusaha mati-matian untuk masuk geng, ikut kegiatan ini itu agar diakui. Dibully malah kadang membuat aku ikut membully teman yang level otak dan tampilannya ada dibawahku. Jadi semacam bahan pelampiasan. Bertahan 6 tahun, tapi tidak pernah absen merengek untuk pindah sekolah aja lah ke sekolah katolik karena ngga tahan dibilang cina dan kafir. Mama bilang, "mama ngga tau agama, ngga bisa ngajarin kamu agama, kalau kamu sekolah di sana, siapa yang mau doain mama, gimana hidupmu?" 

6 tahun berlalu, waktunya masuk SMP. Sebelum tes masuk SMP Negeri, aku mengalami kecelakaan hebat yang mengharuskan rawat di RS di Surabaya. Sebelum hari H tes penerimaan, keluarga di Pamekasan sibuk "melobi" petinggi-petinggi di SMP Negeri yang aku inginkan, agar aku bisa ikut tes di RS di Surabaya, tapi gagal. Akhirnya, mama dan papa memberi pilihan, sekolah di SMP Negeri  lain (yang juga favorit saat itu, mau diusahakan untuk bisa tes di RS) atau di SMPK(atolik). Tanpa pikir panjang aku pilih sekolah di SMPK. Ini adalah kesempatan yang sudah aku tunggu selama 6 tahun lamanya.

SMP. Tidak ada kesulitan beradaptasi karena toh aku sudah berkawan dengan mereka dari PG/TK. Di sana aku merasa diterima dengan sangat baik oleh teman bahkan semua guru di sana. Tiga bulan awal bersekolah aku harus duduk di kursi roda. Semua teman bahkan kakak kelas yang ngga kukenal suka cita membantu. Ini yang aku impikan. Bahkan sempat terpikir, di sinilah aku sebenar-benarnya kaum minoritas tapi nyata tidak dipandang sebelah mata.

Saat SMP, lingkaran pertemanan aman terkendali. Bahkan, karena sekelas hanya ada 20 siswa, kami kompak banget. Sering banget main kumpul nongkrong cewek cowok di rumahku atau rumah teman lainnya. Tiga tahun, ngga pernah ada jokes rasis. Tapi, hidup memang tidak selalu indah seperti yang diharapkan. Pertemanan adem ayem, masalah datang dari guru. Permainan nilai. Mungkin teman-teman SMP ngga ada yang tau soal ini. Lupa kelas berapa :p, saat menerima rapor nangis banget. Lima. Iya, aku dapet nilai 5 untuk salah satu mata pelajaran. Nangis karena yah, gue ngga seharusnya dapet nilai segitu. Ulangan harianku berkisar 7.5-8.5 so why di rapor jadi 5, ftw.

Aku minta mama buat ngurus ke wali kelas, mungkin ada kesalahan. Dah yaah, ngga ada yang salah katanya. Dari guru pengampu memang segitu nilaiku. Mama nanya mau lanjut protes kepsek ngga. Yaudahlah toh aku ngga punya bukti juga. Nilai ulangan hanya terucap di kelas, ngga ada bukti fisik yang diberikan. Dendam? Dulu sih marah. Sekarang udah nggak. Toh nilai 5 di rapor ngga guna juga. Aku tetap bisa masuk SMA Negeri favorit saat itu.

SMA (Negeri). Ini adalah masa transisi tersulit. Negeri- Swasta Katolik-Negeri. Semacam aku akan kembali ke neraka nih kayanya. Beberapa minggu pertama masuk SMA, aku kaya anak TK hari pertama sekolah. Minta anter mama tiap hari. Yah, padahal jelas hari pertama udah ngga ada lagi kata-kata Kafir, bahkan dari teman yang dulu satu SD denganku yang sering juga "becanda" kafir. Cuma ya, dianter mama adalah sebuah kenyamanan tersendiri. SMA tiga tahun. Ngga ada lagi bully-an soal cina dan kafir. Ternyata kami sudah dewasa. Pun aku ngga mengungkit masa SD, berteman baik dengan kawan SD dan melupakan kejadian menyebalkan itu.

Tapi ternyata, efek kecelakaan saat SD itu aku rasakan lagi saat awal kelas tiga SMA yang mengharuskan aku terapi seminggu tiga kali di Surabaya. Mama sudah minta ijin wali kelas dan BK, beliau-beliau bilang akan menyampaikan ke setiap guru pengajar. Dipikir masalah selesai ternyata tidak. Ada salah satu guru yang "tersinggung" karena aku ngga pernah masuk mata pelajarannya karena pas bertepatan dengan hari aku terapi. Aku dipanggil di kelas, di hadapan siswa lainnya. Ditanya sebab kenapa ngga pernah masuk, kuceritakan. Eh, aku dicurigai ngga masuk karena pacaran dan hamil. Waah gelaseh. Aku yang masa SMA berusaha untuk jaga jarak dengan lawan jenis, di depan kelas dibilang hamil. Ngga cukup sampai di situ, aku diminta lari untuk membuktikan aku beneran sakit ngga. Jelas aku ngga mau.

Dasar dulu (sampai sekarang sih masih, cuma berusaha ngurangin lah ^^9) aku mental tempe. Sakit hati tapi cuma bisa nangis. Di perjalanan pulang aku nangis. Ketemu mama malah ngga bisa nahan. Kuceritakan semua. Emak gue dan keluarga besar ngga terima lah ya, anak gadisnya ini dibilang hamil di depan kelas. Secara mama udah melalui prosedur yang benar dengan minta ijin sekolah. Mama ke sekolah protes. Dan yaa kacaulah waktu itu. Guru yang bersangkutan ngga terima diprotes. Hash. Boro-boro minta maaf, nilai raporku (lagi-lagi) diturunin. Ngga tanggung gengs, 20-25 poin untuk dua semester. Sekelas cuma aku dengan nilai pas SKBM (nilai minimal). Yaah aku emang ngga pinter. Nilai ulangan harian jelek. Tapi yang lebih jelek dari aku buanyaaakk. Dan mereka nilainya jauh lebih tinggi dari aku. Mama sempat mau pindahin aku sekolah. Tapi guru-guru yang lain melarang, sayang mau UNAS.

Tapi yasudahlah, yang penting aku menang. Nilai rapor ngga ngaruh ke penerimaan universitas padahal dulu aku masuk melalui seleksi nilai rapor. Allah adil kan. 

Nah dari pengalaman sekolahku itu, aku punya keinginan untuk sekolah Keefe nanti.

Ngga bisa dipungkiri, ada darah Madura, Jawa, Sunda, dan Cina ditubuh Keefe. Jadi aku ngga mau Keefe merasakan apa yang aku rasakan. Ngga mau Keefe dibully apalagi membully. Makanya, aku pengen Keefe sekolah di sekolah umum aja. Bukan antipati dengan sekolah islam. Agamaku ya segini-gini aja ngga cukuplah buat ngajarin Keefe soal kehidupan dunia akhirat dengan baik. Tapi itu bisa dan akan tetap diusahakan. Yang jelas aku mau, di sekolah Keefe kenal keberagaman. Paham agama itu tidak hanya Islam. Suku itu tidak hanya Madura, Jawa, Cina, atau lainnya. Ngga mau Keefe punya konsep Cina=Kristen=Kafir.

Ngga mau ada stigma Cina pasti Kristen, dan kalaupun Kristen emang kenapa? Aku mau Keefe jadi orang yang memahami perbedaan, mengerti bahwa perbedaan itu bukan masalah dan ngga usahlah dipermasalahkan.

Dulu, saya punya teman di Jakarta. Jelas dia bilang dia belum beragama. Tapi sering jadi volunteer sering bantu sana-sini. Bukan cari pahala tapi atas nama kemanusiaan. No, aku ngga pengen ambil "ngga beragamanya". Aku ngga bilang, ngga papa ngga beragama yang penting baik. Tapi aku pengen Keefe bisa memanusiakan manusia ngga peduli asal-usulnya. 

Jadi yang pertama, aku pengen Keefe sekolah di sekolah umum, yang ada banyak suku, banyak agama di sana. Atau malah sekolah di mana Keefe jadi kaum minoritas. Biar Keefe bisa merasakan perbedaan. Menghormati dan dihormati karena berbeda. Bisa berteman dengan siapa saja, ngga cuma dari satu golongan. Ngga gampang men-stempel orang dengan stereotype tertentu. Yah cocoklah sama namanya, Keefe, wkwkw.

Kedua, nilai. Aku pengen Keefe sekolah yang bukan menjunjung tinggi angka di rapor. Tidak jadi budak nilai. Aku pengen sekolah yang mampu mengasah softskill, hobi dan minat Keefe tidak hanya dari pelajaran. Seimbang antara otak kanan dan kiri, ceileh. Dan kalaupun misal nanti Keefe lebih tertarik dalam bidang olahraga atau musik daripada matematika, sekolah mampu mendukung dan mengembangkan bakatnya, bukan memandang sebelah mata.

Ketiga, guru dan sekolah. Aku pengen Keefe jadi orang yang berani mengakui kesalahan, meminta maaf dan bertanggung jawab. Aku akan ajarkan itu di rumah. Tapi aku  butuh tim di sekolah. Jadi aku pengen Keefe sekolah dengan guru yang jelas profesional. Ngga menggunakan hak prerogatif, menyalahgunakan nilai. Guru dan sekolah yang mengajarkan makna maaf dan meminta maaf tidak peduli kepada siapa.  

Aku ngga dendam kok, sumpah. Ini hanyalah bentuk nyata aku dalam mengambil hikmah perjalanan hidupku.

Keempat, fullday school. Iya, sekolah yang dari pagi sampai siang (mungkin) belajar pelajaran formal, siang sampai sore pengembangan minat dan bakat. Malam, welcome family time :)

Sekolah penting. Salah satu tanggung jawabku dan Dicky sebagai orangtua Keefe yang menginginkan dia ada di dunia ini menemani kami berdua. Maka itu, saya pengen mengusahakan semaksimal mungkin sekolah untuk Keefe.

Sadar sekolah dengan kriteria yang kucita-citakan mungkin sekolah mahal yang kalau sekarang dipikirin: bisa ngga ya nyekolahin Keefe kaya gitu. Makanya aku mulai nabung dana pendidikan untuk Keefe bahkan dari awal tau hamil Keefe, biar nanti ngga kelimpungan cari sekolah terus nurunin standar hanya karena duitnya ngga cukup.

Dulu pas hamil aku curhat ke mama pengen nyekolahin Keefe dari SD di sekolah umum yang bagus. Tapi aku bilang takut ntar ngga bisa ngimbangin Keefe sama temen-temennya. Okelah biaya sekolah ter-cover tabungan dan pendapatan kami-orantuanya nanti. Apa kabar biaya pergaulan? Terus mama bilang, udah uangnya ditabung aja buat kuliah, barangkali nanti pengen jadi dokter. Yaah tapikan pengennya sekolah bagus dari SD (kalau bisa mah dari TK), biar gampang masuk kuliahnya. Sekolah SD bagus= Kualitas bagus jadi (Gampang) masuk SMP bagus kemudian (Lolos) SMA bagus akhirnya Yey Kuliah bagus.

Semalem saya iseng liat yutub, ternyata Indonesia punya loh sekolah-sekolah kaya sekolahnya Kim Tan atau Gu Jun Pyo secara fasilitas dan yah guru yang sudah tidak diragukan lagi. Tapi terus aku mikir, duh gimana ya gaya hidup siswanya, kasian kalau Keefe harus jadi Cha Eun Sang atau Geum Jan Di versi cowok. Ngga tau siapa mereka? Sancai lah Sancai. Sancainya tomingse itu.

Yaudahlah, yang penting sekarang usahanya nyatanya, yaitu nabung dapen jangan kasih kendor, berdoa dan menjemput rejeki untuk masa depan Keefe yang cemerlang.   

No comments:

Post a Comment