Thursday, March 21, 2024

Kali kedua konsul psikolog sekolah Keefe. Funfact-nya, jangankan konsul sama psikolog, aku ikut kelas parenting aja bisa ngga tidur karena ovt mempertanyakan kenapa aku selalu belajar tapi ngga pernah berhasil. 

Kadang aku mikir, dahlah kayanya aku ngga usah lagi ikut-ikut kelas parenting biar waras biar sekalian ngga tau teori yang ternyata susah untuk diterapin. Tapi ternyata setiap aku mikir demikian ada sisi lain yang berbicara, "kamu belajar kemudian kamu gagal kamu menyesali, memperbaiki, dan kembali belajar artinya kamu tidak abai". Terlebih mamaku selalu mendorongku untuk konsul psikolog untukku pribadi yang sering kelelahan mental ini dan ke psikolog anak untuk tanya biar ga salah menanggapi  Keefe. Mamaku sering bilang, "mama dulu ngga tau, yang mama kira mama bener ternyata belum tentu bener. Dulu akses psikolog susah dan ga ada duit. Sekarang kamu tau dan duit bisa dicari. Kamu ke psikolog karena menurut mama anak kaya Keefe butuh ditangani psikolog". 

Iya, aku tau emang aku butuh saran profesional yang belajar ngga cuma belajar dari pengalaman pribadi tapi dari penelitian dan sains yang jelas sudah ada sampel dan data yang diuji. Tapi aku tau juga ke psikolog butuh hadir berkala berkelanjutan, uang memang bisa dicari tapi untuk saat ini kayanya masih sulit mengejar uang untuk biaya psikolog yang dibayar per jam itu. Maka karena aku tau keterbatasan finansialku, aku cari solusi untuk cari sekolah yang menyediakan psikolog dan konsultasi orangtua secara gratis, meski memang biaya sekolahnya jadi lebih mahal tp itu win solusion buat ku.

Keefe sudah baru dua kali ke psikolog. Sebetulnya karena obeservasi kesiapan SD. 

Kali pertama observasi di TKnya saat ini khusus aku jadwalkan kesiapan SD. Ketika ditanya kenapa aku mau melakukan tes kesiapan masuk SD  aku jawab karena aku ngga mau jemawa, buru-buru memasukkan Keefe SD karena hanya dari penilaianku saja Keefe siap. Aku butuh hasil kesiapan dari profesional karena meskipun menurutku Keefe siap masuk SD tapi secara uji dia belum mandiri dan sebagainya maka Keefe tetap akan TK. Aku ngga mau karena penilaian sesat dan sesaatku kemudian membuat belajar tidak lagi menyenangkan buat Keefe. Dia kesusahan beradaptasi dan efek negatif lainnya. 

Observasi di sekolah dilakukan 10.30 dan berakhir di jam 13.30. Di rentang waktu tersebut aku menunggu di sekolah dengan cemas. Bukan takut hasilnya tidak baik. Tapi, buset lama amat, kasian anak gue. Mindsetku saat itu adalah sama ketika aku ujian masuk universitas, hihi. Pas nunggu sumpah aku mikirin keefe, dia ngapain yaa, jenuh ngga yaa, karena yang dites cuma dia doang. Tapi pas keluar anaknya cengar-cengir bilang seru. Aku tanya ngapain aja yaa dia cerita keseruannya. Alhamdulillahh. 

Ternyata hasilnya keluar lama banget sampai akhirnya waktu observasi kesiapan tes masuk SD di salah satu SD yang kami tuju. Ada dua agenda, observasi kesiapan SD dan seat in di kelas 1 SD. Total waktunya dari 7.30 sampai 11.00. 

Nah pas observasi di calon SD tu Keefe sama psikolog dan guru pedagogik. Aku ngga ikut nganter karena khawatir drama susah melepaskan tangan Ibuk. Pas dapet info Keefe sudah masuk kelas untuk seat in aku baru samperin dan ngejar psikolog untuk konsultasi. Ini sih ngga ada dalam agenda, tapi alhamdulillah sekolah welcome saat aku bilang pengen konsultasi sama psikolognya. 

Pas sesi konsultasi aku dan Bapak Keefe bersama psikolog dan guru pedagogik sementara Keefe di kelas. Sesi dimulai dengan guru pedagogik menyampaikan hasil observasi bahwa Keefe mempunya kemampuan kognitif, berbahasa, dan lainnya (yang aku lupa) di atas rata-rata. Tapi ada banyak hal yang perlu ditingkatkan karena Keefe seolah bertanya saat menjawab, kayanya ngga PD gitu. 

Nah, saat diminta untuk menjelaskan bagaimana Keefe diasuh, disitulah badai air mata menyerang. Aku ngga sanggup berbicara, lama aku menangis terisak. Aku bilang, aku mungkin pernah bangga dengan bagaimana kemampuan Keefe sekarang karena aku yang terlibat langsung membersamainya tapi setelah 24/7 sama Keefe, kebanggaanku menjadi banyak kekhawatiran. 

Aku takut Keefe yang sekarang besok akan berubah karena banyak luka yang buat ke dalam jiwa Keefe. Tentang bagaimana perubahan pola asuhku yang aku sadar banyak kemunduran saat ini, perbedaan ketika aku bekerja di luar rumah dan saat aku di rumah saja. 

Aku merefleksikan tentang bagaimana Keefe saat ini memang tidak seperti Keefe kecil anak pemberani dan mandiri. Tentang bagaimana aku tidak sabar lagi, menuntutnya mengikuti kecepatanku, tidak lagi tenang mendengar isaknya, bentakkanku atas rengekannya, dan menyalahkannya atas ketidakbisaan dan ketidaksanggupanku menanggapi sikap dan perilakunya. 

Aku selalu tau dan sadar bukan perilakunya yang menantang tapi aku yang tak lagi cakap mengelola emosi dan ekspektasi, tak lagi mahir bernegosiasi. Tentang bagaiamana aku melukai perasaannya saat dia menumpahkan sesuatu, saat banyak air di lantai ketika dia berinisiatif cuci piring, dan bagaimana aku tidak lagi membebaskannya di dapur. Aku terlalu lelah membereskan, negosiasi tegas dan baik sulit aku lakukan sehingga dia sadar untuk bertanggungjawab. Tanggung jawabnya hanya karena Ibuk marah, bukan lagi dia sadar. 

Aku tau ngga seharusnya aku berbagi beban mentalku pada anak kecil itu, tapi Keefe jadi satu-satunya pelampiasanku. Aku tau aku salah. Aku tau yang harus diubah bukan anak kecil itu melainkan aku.

Alhamdulillah, aku semakin yakin untuk memasukkan poin tersedianya psikolog dalam daftar pencarian sekolah. Lepasnya tangisanku di depan psikolog seolah menjadi wadah pengakuan doaku dan sarana untuk mengajak bapak Keefe yang ada di sampingku untuk selalu introspeksi dan refleksi sebagai orangtua. 

Senin (18 Maret 2024) kemarin hasil tes kesiapan SD yang sudah dilakukan di TK keluar hasilnya dan aku konsultasi dengan psikolog TK, aku cerita di postingan terpisah karena ternyata udah waktunya jemput anak kecil. 

Nanti kalau suatu saat Keefe baca tulisan Ibu ini, seperti yang selalu Ibu bilang Keefe, Ibu akan selalu belajar untuk jadi ibu yang lebih baik, yang membersamai Keefe dengan mengobati luka Keefe yang udah terlanjur Ibu kasih ke Keefe. 

Tuesday, March 19, 2024

Tinggal di bandung

Bandung menjadi kota besar kedua setelah Jakarta tempatku merantau. Hmm entah Surabaya dan Sidoarjo dapat disebut tempat merantau juga ngga yaa (?).

Tinggal di Bandung hampir dua tahun ini, atas tinggal bersamanya kami di satu atap yang sama membuatku bersyukur bahwa Keefe merasakan menunggu Bapak pulang kerja, membangunkan bapak, dan menagih janji bapak untuk main bersama. Bersama di Bandung (semoga) menjadikan Keefe lebih bahagia karena lihat Bapak dan Ibunya, kedua orangtuanya sama-sama terlibat atas banyak aktivitas sekolahnya -yang mungkin kalau aku tetap menjalani LDR hanya aku yang selalu hadir di setiap acara sekolahnya. 

Karena memilih sekolah di Bandung, seenggaknya bapak Keefe melihat dan mendengarkan tangisanku di depan psikolog salah satu calon sekolah Keefe tentang bagaimana aku berutang pengasuhan terhadap Keefe, bagaimana aku justru menjadi momster ketika 24/7 bareng dia.

Dan karena tinggal di Bandung, aku dan bapak Keefe yang tadinya ngga bersepakat soal pemilihan sekolah jadi punya kesamaan kriteria sekolah. Karena apa? Tentu bukan karena diskusi kami berdua, tapi karena bapak Keefe lihat dan merasakan langsung sekolah TK yang kami pilih dan survey beberapa sekolah dasar. Beliau jadi tau bahwa setiap sekolah itu memang berbeda dan yang paling cocok adalah yang sesuai dengan value keluarga. Memang tipikal manusia yang harus merasakan daripada mendengar pendapat, hihi...

Namun, aku mau bercerita tentang bagaimana sukanya aku tinggal di Bandung:

1. Bisa belajar banyak hal dengan pakar secara langsung 
Tentu saja asal ada duitnya, hehe. . Sungguh aku ngga bisa melupakan semangatnya diriku saat datang ke acara parenting dengan narasumber yang dulunya cuma bisa aku dengarkan di ruang zoom atau Instagram live sambil ngantuk atau mengerjakan sesuatu lainnya. Bisa sambil bergumam "wah banyak banget peserta bapak-bapak", "ternyata cakep banget narasumber pas ketemu langsung". Ngga sempet ngantuk, karena seseru itu datang langsung ke acara parenting. Meskipun banyak pelatihan yang bukan parenting banyak diadakan di Bandung daripada Surabaya tapi sejauh ini budget datang langsung masih bisa kusiapkan dan ku prioritaskan untuk tema parenting. Semoga Allah cukupkan dan lebihkan biar aku bisa cari ilmu lain selain ilmu parenting.

2. Pilihan sekolah dan tempat les
Lagi-lagi asal ada duitnya, hihi... Alhamdulillah kontrakan kami dikelilingi sekolah dari yang bagus sampai bagus banget. Terus, sebagai orang yang tidak bisa berlalulintas, tempat les mulai dari musik dan olahraga gampang banget aku gapai. Sejauh ini, aku bukan tipe ibu yang lesin anak pelajaran sekolah :) Meskipun sebagai introvert aku ngga papa banget tinggal di gunung, tapi rejeki kontrakan di tempatku yang sekarang menyadarkan ku bahwa hidupku sekarang bukan tentang aku aja, tapi ada bocil yang harus dicukupi dari segala sisi dan aku butuh bantuan pihak lain ketika aku ngga bisa mencukupinya dengan tanganku sendiri. 

3. Wargi Bandung 
Tau ga sih gara-gara setahun lebih di Jakarta dan hampir dua tahun tinggal di Bandung aku jadi punya stereotipe tentang penduduk bagian barat dan timur pulau Jawa. Maafkan yaa, ini pengalaman pribadi, sungguh ini hanya stereotipe yang aku buat sendiri hihi. . 

Nih yaaa, aku tu pas tinggal di Surabaya termasuk -yang kata orang- golongan cupu yang ngga bisa nyetir mobil atau kemana yang jauhan dikit kudu naik ojek online. Banyak banget yang bilang "belajar mobil dong, biar ga ngerepotin, biar gampang kemana sendiri", meskipun ngga sampe yang bikin gedeg karena aku tu termasuk tipe yang masuk kanan keluar kiri urusan begituan. Karena yaaa, menurutku, aku ngga bisa naik mobil juga ngga ngerepotin orang, ada uang kunaik ojek online ngga ada uang yaa artinya emang aku harus di rumah saja. Urusan darurat, ada uang ngga ada uang kan yaa tetep harus berangkat, ya nggaaa. . Mamaku sebagai role modelku yang ngga bisa naik motor mobil bahkan masih bisa survive kemana-mana sendiri karena sering ditinggal papa keluar kota. 

Tapi niihhh pas di Bandung, buanyaakk banget perempuan-perempuan yang bahkan ngga bisa naik motor dan mobil. Sungguh kumerasa superior, haha. Sering ketemu tetangga peran suami di warung sayur, hmm biasa ibu-ibu kepo dalam hati bertanya kemana istrinya ga pernah keliatan, anjem anak juga suami, laah terus dapat jawaban ternyata dia ga bisa bawa kendaraan. Tetangga lagi juga cerita klo ga bisa bawa motor mobil jadi dia anjem anak pake sepeda listrik. Mama temen sekolah Keefe yang sekarang jadi temenku juga ngga bisa bawa motor dan mobil. Haaahh sumpah, di kota besar justru aku menemukan teman "golongan cupu" mungkin aku leadernya karena mayan lah aku bisa anjem Keefe sendiri pake motor karena jalanan Bandung yang sempit ini, hihi. .
--
Adalagi niihhhh, aku ga pernah dapet kalimat lanjutan dari jawabanku "iyaa, cuma Keefe aja, satu doang", belum pernah inget ada wargi Bandung yang "sok atuh nambah", "udah waktunya tuh, cukup loh jarak usianya", kaga pernah ada kalimat nasihat nambah anak yang kudengar dari wargi Bandung bahkan dari Generasi Baby Boomers yang kupanggil nenek, nin, dan eyang. Obrolan soal anak berhenti pada pertanyaan berapa anaknya tanpa ada embel-embel lanjutan. 

Sementara pengalamanku tinggal di Jatim, yaahhh sebaliknya haha. Meski aku ga pernah ambil pusing soal nasihat orang-orang soal anak kedua. 

Fun fact nih ketika aku update status "Duhh jangan cepet besar dong Keefe",
 
respon kontak warga Jatim : 
"Ibunya galau nih, gass nambah lagi"
" Yo dibikinin adik biar ada gantinya"

respon kontak wargi:
emot peluk

Nah gara-gara respon kontak wargi aku sadar iya juga yaa kenapa ungkapan "kangen Keefe bayi" atau "jangan cepet besar dong" selalu diasosiasikan untuk nambah individu baru sebagai pengganti? Kenapa?

apakah "hmmm aku kangen deh masa-masa pacaran" artinya aku harus cari pacar baru? Nyahahaha

Aku juga menemukan banyak teman di Bandung, karena apapun motivasinya dan latar belakangnya, banyak orangtua dengan satu anak yang seumur Keefe atau bahkan lebih. Beberapa teman sekolah Keefe juga (masih) anak tunggal. Yey...
--
Seperti yang sudah aku ceritakan di poin satu, Bandung merupakan tempat di mana para ayah juga terlibat dalam pengasuhan itu ada ngga cuma dalam bayangku. Dalam beberapa kali kegiatan di sekolah Keefe yang boleh hanya dihadiri satu orangtua, ngga sedikit yang datang ya para ayah sambil membawa satu adik kecil di gendongannya. Pas acara sosialisasi orangtua saat observasi SD Keefe orangtua datang berpasangan, bahkan ada beberapa di mana ayah hadir seorang diri. Ohiya di grup orangtua sekolah TK keefe juga anggotanya ada ayah. Bandung membuatku semakin yakin bahwa banyak orangtua yang sudah tidak lagi membebankan pengasuhan terhadap salah satu pihak saja. 
--
Keefe sudah daftar ulang SD kemudian mencuat kasus Bullying di sekolah elite, jujur itu sempat membuatku ketar-ketir akan status ekonomi. Meski aku ngga pernah bosan menjelaskan hingga bermain peran soal bullying tapi akhirnya rasa takut Keefe masuk ke lingkaran setan itu muncul. Hingga kemudian aku tersadarkan kembali bahwa ini Bandung. Aku bertemu banyak orangtua dengan visi misi yang terlihat sama dengan yang aku punya. Di sekolah saat ini banyak anak anjem dengan mobil tapi ngga sedikit yang naik sepeda listrik. Bahkan, teman dekat Keefe di rumah, sekolah di sekolah yang overbudget menurut kami tapi mobilnya biasa saja, rumahnya biasa saja, dan selalu anjem dengan sepeda listrik atau sepeda motor. Anak teman kuliahku yang saat ini jadi wargi Bandung juga sekolah di sekolah overbudget kami dengan penampilan "biasa saja". Artinya mungkin status ekonomi bisa kucoret dari bahan ovt. Sekolah mahal Bandung memang bukan karena gengsi aja tapi karena kebutuhan kualitas ditambah orangtua wargi yang banyak belajar parenting kali yaaa... Semoga bisa kasih modal kisi-kisi pertemanan ke Keefe ya Allah...
----------------

Ada banyak hal keistimewaan tinggal di Bandung yang mungkin membuatku betah hidup di sini. Tapi ada satu hal yang selalu membuatku rindu dan mendambakan untuk pulang. Karena sebaik-baiknya Bandung adalah tempat yang setiap hari membuatku menangis karena kesepian. Tempat dimana aku merasa bosan dan jenuh. Tempat di mana aku merasa diriku semakin bodoh dan jelek. Tempat bahwa aku yakin bahwa ternyata semakin dewasa semakin aku jadi ibu semakin aku butuh orangtuaku.

Bandung dengan segala euforia dan problemnya, aku tinggal di sini. Sekarang, entah sampai kapan.  
 

  
 

Monday, January 15, 2024

"Obrolan Dewasa" bersama Bocah Lima Tahun

Salah satu kesan yang diberikan guru sekolah Keefe saat sesi Parent Teacher Conference adalah kemampuan Keefe nyambung pada topik-topik dewasa yang mungkin teman-teman seusianya tidak tertarik atau bahkan tidak mengerti. Saat ku sampaikan perihal tersebut ke Bapak Keefe, doi bilang "yaa karena suka ngobrol sama kamu". 


Aku emang suka ngobrol banyak hal sama Keefe. Mulai membahas topik yang sedang terjadi di lingkungan, bahasan dari buku, bahkan melibatkan dia, bertanya pendapatnya, atau mungkin bisa dibilang lebih sering curhat sama Keefe ketimbang bapake. Pernah kutanya saat sesi psikolog  rambu-rambu topik apa yang harus hati-hati atau berhenti tak boleh kuceritakan. Psikologku bilang, "Boleh curhat tapi hati-hati bercerita tentang suami. Jangan sampai anak kita menjadi Fatherless sebab kata-kata kita padahal ayahnya ada."


Akan kutulis bagaimana aku melibatkan Keefe dalam setiap keputusan penting yang aku buat. Adalah hari, saat perjalanan dari rumah ke kampus, di atas motor, aku memulai percakapan,


Ibuk (I): "Keefe, hari ini mungkin hari terakhir ibu ke kampus. Mungkin sedikit waktu ke depan, hari-hari terakhir ibuk ngajar, karena nanti ibuk akan bilang ke boss ibuk kalo ibuk mau berhenti kerja. Keefe doain ibuk ya"

Keefe (K) : "Kenapa? Ibuk ngga boleh berhenti kerja"

I: "Ibukkan ngga bisa ke kampus tiap hari. Ibuk ngga bisa ngajar di kampus tiap hari, ngga bisa ketemu mahasiswa ibuk, ngga bisa kerjasama bantuin pekerjaan yang harusnya ibuk selesaikan bareng temen-temen yang tiap hari ke kampus." 

K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja. Ibuk kan bilang orang dewasa itu harus kerja. Terus kenapa sekarang ibuk mau berhenti kerja?"

I: "Yaa itu, kan sama kaya Keefe kalo keefe bilang Keefe ngga mau les ibuk kasih pilihan mau berhenti aja ta lesnya? Sama ibuk udah lama ninggalin kampus, ibuk ngga bisa ke kampus tiap hari. Kasian mahasiswa ibuk dan temen-temen ibuk yang mereka sebenernya juga butuh ibuk untuk dateng ke kampus. Ibuk terima gaji tapi ibuk ngga bisa kerja semestinya jadi ibuk merasa ngga enak hatinya. "

K: "Yaudah kalo gitu Ibuk ke kampus aja. Kita pindah lagi aja ke Surabaya"

I: "Loh, sekolah Keefe gimana? Bapak gimana? Lagian dulu keefe pernah bilang kalo ibuk ngga boleh kerja. Ibuk di rumah aja nemenin Keefe"

K: "Sekolah keefe bisa pindah buk. Terus bapak dulu pernah tinggal sama temen-temennya. Yaudah gapapa bapak sekarang biar tinggal sama temen-temennya lagi. Keefe pokoknya ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk bilang orang dewasa harus kerja"

I: "Kenapa ibuk ngga boleh berhenti kerja? Kan kalo ibuk berhenti kerja ibuk mungkin bisa lebih fokus nemenin Keefe. Ibuk ngga capek mikirin harus kerja padahal ibuk lagi masak atau lagi nemenin keefe. Ibuk ngga kepikiran keefe kalo ibuk lagi kerja. Dulu Keefe pernah bilang ngga mau ibuk kerja"

K: "itu dulu buk. Sekarang keefe udah bisa sendiri. Keefe udah bisa main sendiri kalau ibuk kerja. Kalo ibuk sekarang berhenti kerja, ibuk mau kalo Keefe udah dewasa keefe ngga kerja?"

I: "Yaa bukan Keefe. Ibuk berhenti kerja karena ibuk ngga bisa ke kampus, padahal aturannya harus ke kampus. Ibuk ngga bisa ngajar ketemu mahasiswa ibuk padahal mahasiswa ibuk pengen ketemu langsung sama ibuk. Ibuk ngga bisa kerja yang sama kaya temen-temen ibuk, padahal temen-temen ibuk butuh ibuk".

K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja"

Kurang lebih begitu percapakan kami di atas motor sampai akhirnya kami tiba di kampus. Saat turun dari motor dan melepas helm, ku lihat mata Keefe berkaca-kaca. Aku kaget ngga mengira dia akan menangis. Setelah kutanya, "Keefe nangis?" makin lepas tangisannya yang membuatku berjongkok agar sejajar dengannya.

K: "Ibuk, keefe butuh dipeluk dulu."

Sambil kupeluk, Keefe melanjutkan kalimatnya

K: "Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk, engkong sama emak aja udah tua tapi masih kerja. Kenapa ibuk malah berhenti kerja? Masa Keefe harus minta uang sama Emak dan Engkong terus? Uang emak dan engkong udah dikasih ke supir truk. Gimana kalo Keefe butuh sesuatu, keefe pengen jajan, keefe butuh beli buku, beli mainan, gimana sekolah Keefe? Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja."

Akhirnya di parkiran sambil jongkok ku peluk Keefe. Jadilah kami berdua, ibuk dan anak yang sama-saama menangis di parkiran motor. Mesraaa

I: "Keefe takut ibuk ngga punya uang yaa. Sama. Ibuk juga takut ibuk ngga punya uang. Ibuk juga takut ngga bisa beli skincare, beli baju, beli mainan, beli buku. Ibuk juga takut banget ngga punya uang lagi. Makanya Keefe doain yaa, abis ibu berhenti dari sini, doain ibuk biar bisa punya kerjaan lagi, biar bisa dapet uang lagi. Keefe juga ngga perlu takut. Bapakkan masih kerja, masih bisa kok insyaallah untuk beliin buku keefe, untuk sekolah keefe."

K: "Ibuk, bapakkan juga masih kuliah, belum kerja di rel lagi. Uang bapak juga sedikit. Dulu aja waktu bapak masih kerja di rel kalo Keefe bantu bapak parkir mobil Keefe dapet uang parkir dari bapak. Sekarang sejak bapak kuliah, tiap keefe parkirin mobil bapak, keefe udah ngga dikasih lagi uang parkir. Gimana kalo Keefe butuh untuk keperluan sekolah Keefe?"

(Yaa Allah pengen ketawa di sela nangis denger uang parkir. Ternyata anak gue pengamat keadaan)

 I: "Insyaallah kalo untuk keperluan sekolah Keefe, hobbi keefe, ibuk dan bapak akan usaha cari uangnya. Keefe doain Ibuk, abis berhenti dari sini ibuk akan cari kerja lagi. Kalo belum dapet kerja, ibuk mau coba jualan kaya emak dulu, Jual makanan, nanti ibuk bikin masakan terus ibuk jual biar ibuk dapet uang lagi."

K: "Ibuk janji yaa. Ibuk langsung cari kerja lagi atau ibuk langsung jualan kalo ibuk berhenti kerja. Ibuk peluk dulu. Mau ga gendong Keefe?"

I: "Mau. tapi klo gendong di rumah. Ini kan kita harus naik ke lantai dua kalo gendong keefe bisa pingsan ibuk."


Begitulah akhir percakapan kami. Dengan Keefe yang masuk ruang dosen dengan muka kusut. Disambut heran oleh rekan dosen karena tak seceria biasanya. 

Hari itu, aku makin tau anak lima tahun ku sudah dewasa, sudah paham finansial, sudah bisa insecure masa depan.

Hari itu, di mana aku kembali mengajukan surat permohonan berhenti berkerja. 

Tuesday, April 4, 2023

Akhirnya ke Psikolog

Setelah lama menimbang banyak hal, akhirnya Senin (3 April 2023) kemarin aku melakukan konseling secara daring dengan salah satu psikolog di Bandung. Banyak hal yang membuatku akhirnya memutuskan untuk konseling setelah sebelumnya maju mundur. Hal terbesar adalah hubunganku dengan Keefe yang tadinya mesra, romantis, dan harmonis akhir-akhir ini seperti kucing dan anjing. 

Aku semakin kualahan menghadapi tingkahnya namun kusadari dengan betul bahwa bukan perilakunya yang menantang tapi itu adalah bentuk protesnya terhadap sikap dan sifat ibunya yang berubah. Pun aku memang clueless menghadapi semua polahnya sehingga menambah emosi, keefe semakin protes, menggelinding bagai bola salju. Sebelum hubungan kami makin buruk, kuputuskan bahwa pertama yang harus kulakukan adalah memperbaiki perilakuku dengan niat terapi kesabaran dan keikhlasnya dengan profesional.

Aku dengan segala sisi negatif yang aku rasakan saat ini, mulai dari penyesalan, keberatan, kekecewaan, dan kelelahan dengan sadar bahwa aku lalai melampiaskan semua itu pada anak kecilku. Inferior yang berakibat pada rasa superior. Begitu diagnosis yang kulakukan pada diriku sendiri. Intinya, aku sadar aku salah dan aku harus secepatnya memperbaiki. Aku sadar aku tidak mampu memperbaikinya sendiri maka aku butuh tenaga profesional untuk membantuku.

--

Setelah dipersilakan untuk memulai cerita yang pertama kuucapkan bahwa hari itu aku sedang tidak baik-baik saja. Beberapa menit aku menangis tidak bisa melanjutkan ceritaku. Hariku dimulai dengan perasaan marah kepada anak kecil dan kecewa pada diri sendiri karena merasa sudah salah menanggapi anak kecil di pagi hari. Malam sebelumnya, aku yang sudah membuat tembok dilarang memukul nyaris memukul anak kecil yang membuatku kacau, meninggalkan anak kecil berdua dengan bapaknya lalu menangis sendirian di mesjid depan rumah. 

--

Dari banyak latar belakang, aku diminta psikolog untuk meranking mana yang menjadi prioritasku. Aku jawab bahwa aku boleh kehilangan kesabaran atas hal lain tapi aku tidak mau, tidak boleh kehilangan kesabaran menghadapi anak kecilku. Aku gagal mengelola perasaanku bahwa proporsi kesabaranku untuk anakku. Nyatanya anakku hanya mendapatkan sisa kesabaran yang minus. 

Aku menceritakan bagaimana Keefe bertanya dan berkata kepadaku

  • Ibuk kenapa sekarang cerewet?
  • Ibuk kenapa sekarang marah karena Keefe tumpahin air? Keefe mau tanggung jawab kok. Ibuk dulu ngga marah Keefe tumpahin tepung. Ibuk cuma minta Keefe tanggung jawab.
  • Ibuk itu bukan ibuknya Keefe.
  • Ibuk Keefe itu ngga suka Ibuk berteriak, ibuk nangis di depan Keefe, Ibuk sedih.
  • Ibuk, sulit yaa jadi Ibuk? Tapi Ibuk tetep mau kan jadi Ibuknya Keefe?
  • Ibuk, maafin Keefe ya udah buat ibuk capek, tapi ibuk jangan capek. Ibuk temenin Keefe. Ibuk jangan sedih.
Terakhir, saat memandikan Keefe, tiba-tiba Keefe berkata, "Ibuk, kalau Ibuk ngajar sama mahasiswanya Ibuk, Ibuk jangan cemberut kaya sekarang nanti mahasiswa ngga seneng dan takut". Seketika aku sadar bahwa saat ini tersenyum saja aku tak punya tenaga. 

--

Banyak hal yang kusadari bagaimana aku memperlakukan anakku berbeda dari aku yang sebelumnya. Aku yang saat ini punya tambahan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya justru membuatku tak punya waktu bermain dengan gembira bersama anakku. Hariku dipenuhi rasa terburu yang berakibat aku tak punya fokus apa yang sedang kukerjakan.

Aku jarang melakukan science experiment padahal ketika bekerja di luar rumah aku bisa rutin melakukannya. Aku mulai banyak aturan dan larangan saat bermain padahal aku yang dulu tidak demikian. Saat ditanya psikolog apa yang membuatku berubah saat bermain, kujawab: aku takut akan semakin menambah pekerjaanku, kelelahanku, dan emosiku. Aku larang karena aku takut ada tumpah, rumah berantakan, aku membantu membersihkan, dan aku lelah. Aku larang karena aku enggan bernego dengan Keefe untuk segera bertanggungjawab karena rasanya aku tidak ada kesabaran dan kesanggupan lagi untuk nego dalam damai.

---

Aku berkata bahwa psikolog tolong bantu aku untuk mendapatkan kesabaranku kembali setidaknya seperti dulu. Aku bercerita bahwa Keefe akan sekolah formal bulan Juli nanti. Aku tidak ingin sisa waktuku dihabiskan dengan marah-marah. Aku merasa bahwa waktuku berdua dengan Keefe akan semakin sedikit setelah dia mulai sekolah nanti. Aku ingin waktuku kembali berkualitas dengan limpahan senyuman riang seperti dulu. 

Setelah kupikirkan bahwa bukan hanya hubungan kami yang semakin buruk, tapi perilaku Keefe bagaimana dia menghadapi teman-temannya dan situasi di depannya juga mengalami kemerosotan. Keefe yang dulu cuek ketika diejek saat ini seakan menarik diri saat itu terjadi. 

--

Aku berada di sini, melepaskan karirku, 24 jam membersamainya, karena aku yang memilih untuk menemaninya dalam kegembiraan, bukan untuk menorehkan luka masa kecil yang akan dia bawa sampai dia meninggalkan dunia ini. Maka aku butuh sembuh, aku butuh bantuan.

Saat ini, aku dibantu psikolog untuk mengelola emosiku. Semoga dilimpahkan rejeki untuk menerima bantuan dari psikolog anak agar aku tau cara membantu Keefe menghadapi dirinya sendiri. 

--

Apa yang aku lakukan saat ini adalah caraku untuk bertumbuh, caraku untuk berdamai, caraku untuk sejahtera lahir dan batin. Aku bercerita pada Keefe bahwa ibu ke "dokter" untuk sembuh agar lebih sabar. Semoga yang Keefe ingat bukan ibunya yang pemarah tapi Ibu yang juga berusaha menyembuhkan luka.  



Thursday, December 15, 2022

Resign yang di Depan Mata

Saya sudah ngebayangin bahwa resign itu berat ternyata saya salah. Berat BANGET. Well, saya belum benar-benar resign sih. Tapi kayaknya dalam waktu dekat, huhu. Siap ngga? Jujur nggak...

Baca: Resign


Singkat cerita, saya mengajukan Resign ke pimpinan tempat saya bekerja sejak 2021. Tapi karena satu dan lain hal saya "diistimewakan" untuk WFA, melakukan pembelajaran dan pekerjaan yang lain secara daring. Satu sisi saya  senang karena meski pendapatan saya jauh berkurang tapi setidaknya saya masih berdaya demi kebutuhan saya sendiri dan memenuhi keinginan-keinginan dalam diri.


Nyatanya, ngga mudah buat saya untuk menjalani peran sebagai ibu, istri, dan karyawan secara berbarengan. Saya ngga bisa mengkotak-kotakkan emosi saya saat saya (terutama) harus berhadapan dengan anak dan layar laptop. Saya kewalahan membagi waktu masak, main dengan keefe, beberes, dan memenuhi deadline pekerjaan saya. Setiap hari bagi saya adalah terburu-terburu. 


Terburu-buru memasak demi bisa membereskan rumah.

Terburu-buru membereskan rumah demi bisa main sama Keefe.

Terburu-buru main sama Keefe demi menyelesaikan pekerjaan as a lecturer.

Terburu-buru menyelesaikan pekerjaan demi bisa main sama Keefe.

Saya ngga pernah bisa mindfull dalam mengerjakan segala hal.

Hasilnya, tentu burn out. Yang terkena dampak pasti anak sematawayang saya...


Meski seringkali ikut seminar parenting, seolah teori parenting saya pahami dengan baik, tapi nyatanya saya ngga pernah sukses mengelola emosi di depan Keefe. Keefe adalah satu-satunya manusia saat ini yang menyaksikan bagaimana ibunya tertawa dan menangis. Bahkan, saya ngga pernah nangis bilang capek ke Dicky, tapi berkali-kali saya lakukan itu di depan Keefe. 

Berkali-kali saya menyesali tapi selalu mengulangi. Ibu yang gagal :'(


Setiap kali Keefe tantrum atau meltdown, saya melihat ada diri saya dalam dirinya. Cara saya gagal mengelola emosi negatif terserap penuh oleh anak kecil itu. Setiap kali itu terjadi, saya selalu kembali merasa ibu yang gagal.


Saya lelah menghadapi masa-masa burnout ini. Mungkin ini saatnya saya kembali memutuskan untuk betul-betul merelakan karir (semoga) sementara waktu. 

Meskipun saya kerap khawatir rejeki (seakan tidak percaya Tuhan), tapi keputusan terbaik dari yang terburuk tetap harus diambil.

Saya ngga mau karena kelelahan mengurus semuanya dalam satu waktu, saya mematahkan hati anak saya...

Beruntung saya punya mama. Meski saya tau, mama sama khawatirnya dengan saya, tapii...


Mama adalah sosok yang menguatkan saya atas segala ketakutan finansial dan kebimbangan pengasuhan. Mama bilang ini saatnya memilih seutuhnya hadir untuk Keefe. Kata mama mungkin sekarang waktunya mencoba skill baru untuk tetap dapat berdaya...


Betul. Dunia(ku) masih baik-baik saja ketika aku masih punya orangtua.





Wednesday, June 29, 2022

Quarter Life Crisis

She's imperfect but she tries

She is good but she lies
She is hard on herself
She is broken and won't ask for help
She is messy but she's kind
She is lonely most of the time
She is all of this mixed up
And baked in a beautiful pie
She is gone but she used to be mine
--Kukira lagu ternyata kisahku. 
Begitu tulis caption akun @melisahart tempat pertama saya tau lagu itu.
"Ku kira lagu ternyata hidupku" Begitu pikirku
dan begitu ku search lengkapnya di Youtube, kubaca liriknya sambil kumenangis.

Sungguh, itu gambaran diriku, yang kurasakan saat ini. Kurindukan diriku yang dulu saking lelahnya pada emosi-emosi negatif yang kurasakan bertahun belakangan ini. 
Beberapa waktu terakhir kurasa mungkin kusedang mengalami yang namanya Quarter Life Crisis, maybe.
Entah, mungkin teman-temanku yang lain di usia saat ini, sudah melewati fase itu, dan sedang memetik hasilnya. Tapi, aku bahkan masih ada di fase meski usia sudah lebih dari tiga puluh tahun dan rasanya semakin hari ketakutan akan masa depan dan penyesalan atas keputusan-keputusan yang telah kuambil semakin merajarela.
Bayangan buruk hampir tiap hari ku rasa yang membuat kumenangisi hidup - yang rasanya meski sudah kuusahakan yaaahh begini-begini saja. Jalan di tempat.  
Rasa bersalah terhadap Keefe, mama, papa, dan diri sendiri selalu menghantui. Kaya ngga pernah bener jadi ibu, anak istri dan bahkan diri sendiri. Rasanya frekuensi menghela napas atas setiap kejadian dan ketakutan akan masa depan sering kali kualami. 
Katanya, hampir sebagian besar wanita yang sudah menikah merasakan ini, merindukan dirinya di masa lalu. Yaaahh tapi kenapa aku tidak ditakdirkan jadi bagian  kecil saja???
Sering kuberpikir, apakah aku kurang bersyukur? Lalu helaan napas kembali terdengar di telinga sendiri. Lagi-lagi aku menyalahkan diri. 
Berulang ku berdoa "Aku rasa aku sudah cukup kuat, ya Allah. Please jangan lagi uji aku agar aku lebih kuat.", berulang pula ku merasa cemas, aku takut bahwa nyatanya aku masih lemah di mata Allah. 
Satu yang sedang dan selalu kuusahakan untuk dapat bertahan. Kusugesti diriku sendiri, bahwa aku sudah cukup baik melakukan apa yang kubisa. Aku bangga pada diriku sendiri, atas apa yang sudah aku relakan dan apa yang sedang aku usahakan. 
Aku yang sekarang adalah keputusan yang sudah kubuat dengan sadar di masa lalu. Dan penyesalan adalah bentuk kepedulian pada diriku yang membantuku membuat keputusan di masa depan.   

Monday, December 27, 2021

2021

 2021

Buatku terasa melelahkan

Hati, pikiran, jiwa, raga rasanya udah terbakar habis di 2021.

Bye, 2021