Media Isi Kepala
Writing is healing
Thursday, March 21, 2024
Tuesday, March 19, 2024
Tinggal di bandung
Monday, January 15, 2024
"Obrolan Dewasa" bersama Bocah Lima Tahun
Salah satu kesan yang diberikan guru sekolah Keefe saat sesi Parent Teacher Conference adalah kemampuan Keefe nyambung pada topik-topik dewasa yang mungkin teman-teman seusianya tidak tertarik atau bahkan tidak mengerti. Saat ku sampaikan perihal tersebut ke Bapak Keefe, doi bilang "yaa karena suka ngobrol sama kamu".
Aku emang suka ngobrol banyak hal sama Keefe. Mulai membahas topik yang sedang terjadi di lingkungan, bahasan dari buku, bahkan melibatkan dia, bertanya pendapatnya, atau mungkin bisa dibilang lebih sering curhat sama Keefe ketimbang bapake. Pernah kutanya saat sesi psikolog rambu-rambu topik apa yang harus hati-hati atau berhenti tak boleh kuceritakan. Psikologku bilang, "Boleh curhat tapi hati-hati bercerita tentang suami. Jangan sampai anak kita menjadi Fatherless sebab kata-kata kita padahal ayahnya ada."
Akan kutulis bagaimana aku melibatkan Keefe dalam setiap keputusan penting yang aku buat. Adalah hari, saat perjalanan dari rumah ke kampus, di atas motor, aku memulai percakapan,
Ibuk (I): "Keefe, hari ini mungkin hari terakhir ibu ke kampus. Mungkin sedikit waktu ke depan, hari-hari terakhir ibuk ngajar, karena nanti ibuk akan bilang ke boss ibuk kalo ibuk mau berhenti kerja. Keefe doain ibuk ya"
Keefe (K) : "Kenapa? Ibuk ngga boleh berhenti kerja"
I: "Ibukkan ngga bisa ke kampus tiap hari. Ibuk ngga bisa ngajar di kampus tiap hari, ngga bisa ketemu mahasiswa ibuk, ngga bisa kerjasama bantuin pekerjaan yang harusnya ibuk selesaikan bareng temen-temen yang tiap hari ke kampus."
K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja. Ibuk kan bilang orang dewasa itu harus kerja. Terus kenapa sekarang ibuk mau berhenti kerja?"
I: "Yaa itu, kan sama kaya Keefe kalo keefe bilang Keefe ngga mau les ibuk kasih pilihan mau berhenti aja ta lesnya? Sama ibuk udah lama ninggalin kampus, ibuk ngga bisa ke kampus tiap hari. Kasian mahasiswa ibuk dan temen-temen ibuk yang mereka sebenernya juga butuh ibuk untuk dateng ke kampus. Ibuk terima gaji tapi ibuk ngga bisa kerja semestinya jadi ibuk merasa ngga enak hatinya. "
K: "Yaudah kalo gitu Ibuk ke kampus aja. Kita pindah lagi aja ke Surabaya"
I: "Loh, sekolah Keefe gimana? Bapak gimana? Lagian dulu keefe pernah bilang kalo ibuk ngga boleh kerja. Ibuk di rumah aja nemenin Keefe"
K: "Sekolah keefe bisa pindah buk. Terus bapak dulu pernah tinggal sama temen-temennya. Yaudah gapapa bapak sekarang biar tinggal sama temen-temennya lagi. Keefe pokoknya ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk bilang orang dewasa harus kerja"
I: "Kenapa ibuk ngga boleh berhenti kerja? Kan kalo ibuk berhenti kerja ibuk mungkin bisa lebih fokus nemenin Keefe. Ibuk ngga capek mikirin harus kerja padahal ibuk lagi masak atau lagi nemenin keefe. Ibuk ngga kepikiran keefe kalo ibuk lagi kerja. Dulu Keefe pernah bilang ngga mau ibuk kerja"
K: "itu dulu buk. Sekarang keefe udah bisa sendiri. Keefe udah bisa main sendiri kalau ibuk kerja. Kalo ibuk sekarang berhenti kerja, ibuk mau kalo Keefe udah dewasa keefe ngga kerja?"
I: "Yaa bukan Keefe. Ibuk berhenti kerja karena ibuk ngga bisa ke kampus, padahal aturannya harus ke kampus. Ibuk ngga bisa ngajar ketemu mahasiswa ibuk padahal mahasiswa ibuk pengen ketemu langsung sama ibuk. Ibuk ngga bisa kerja yang sama kaya temen-temen ibuk, padahal temen-temen ibuk butuh ibuk".
K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja"
Kurang lebih begitu percapakan kami di atas motor sampai akhirnya kami tiba di kampus. Saat turun dari motor dan melepas helm, ku lihat mata Keefe berkaca-kaca. Aku kaget ngga mengira dia akan menangis. Setelah kutanya, "Keefe nangis?" makin lepas tangisannya yang membuatku berjongkok agar sejajar dengannya.
K: "Ibuk, keefe butuh dipeluk dulu."
Sambil kupeluk, Keefe melanjutkan kalimatnya
K: "Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk, engkong sama emak aja udah tua tapi masih kerja. Kenapa ibuk malah berhenti kerja? Masa Keefe harus minta uang sama Emak dan Engkong terus? Uang emak dan engkong udah dikasih ke supir truk. Gimana kalo Keefe butuh sesuatu, keefe pengen jajan, keefe butuh beli buku, beli mainan, gimana sekolah Keefe? Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja."
Akhirnya di parkiran sambil jongkok ku peluk Keefe. Jadilah kami berdua, ibuk dan anak yang sama-saama menangis di parkiran motor. Mesraaa
I: "Keefe takut ibuk ngga punya uang yaa. Sama. Ibuk juga takut ibuk ngga punya uang. Ibuk juga takut ngga bisa beli skincare, beli baju, beli mainan, beli buku. Ibuk juga takut banget ngga punya uang lagi. Makanya Keefe doain yaa, abis ibu berhenti dari sini, doain ibuk biar bisa punya kerjaan lagi, biar bisa dapet uang lagi. Keefe juga ngga perlu takut. Bapakkan masih kerja, masih bisa kok insyaallah untuk beliin buku keefe, untuk sekolah keefe."
K: "Ibuk, bapakkan juga masih kuliah, belum kerja di rel lagi. Uang bapak juga sedikit. Dulu aja waktu bapak masih kerja di rel kalo Keefe bantu bapak parkir mobil Keefe dapet uang parkir dari bapak. Sekarang sejak bapak kuliah, tiap keefe parkirin mobil bapak, keefe udah ngga dikasih lagi uang parkir. Gimana kalo Keefe butuh untuk keperluan sekolah Keefe?"
(Yaa Allah pengen ketawa di sela nangis denger uang parkir. Ternyata anak gue pengamat keadaan)
I: "Insyaallah kalo untuk keperluan sekolah Keefe, hobbi keefe, ibuk dan bapak akan usaha cari uangnya. Keefe doain Ibuk, abis berhenti dari sini ibuk akan cari kerja lagi. Kalo belum dapet kerja, ibuk mau coba jualan kaya emak dulu, Jual makanan, nanti ibuk bikin masakan terus ibuk jual biar ibuk dapet uang lagi."
K: "Ibuk janji yaa. Ibuk langsung cari kerja lagi atau ibuk langsung jualan kalo ibuk berhenti kerja. Ibuk peluk dulu. Mau ga gendong Keefe?"
I: "Mau. tapi klo gendong di rumah. Ini kan kita harus naik ke lantai dua kalo gendong keefe bisa pingsan ibuk."
Begitulah akhir percakapan kami. Dengan Keefe yang masuk ruang dosen dengan muka kusut. Disambut heran oleh rekan dosen karena tak seceria biasanya.
Hari itu, aku makin tau anak lima tahun ku sudah dewasa, sudah paham finansial, sudah bisa insecure masa depan.
Hari itu, di mana aku kembali mengajukan surat permohonan berhenti berkerja.
Tuesday, April 4, 2023
Akhirnya ke Psikolog
Setelah lama menimbang banyak hal, akhirnya Senin (3 April 2023) kemarin aku melakukan konseling secara daring dengan salah satu psikolog di Bandung. Banyak hal yang membuatku akhirnya memutuskan untuk konseling setelah sebelumnya maju mundur. Hal terbesar adalah hubunganku dengan Keefe yang tadinya mesra, romantis, dan harmonis akhir-akhir ini seperti kucing dan anjing.
Aku semakin kualahan menghadapi tingkahnya namun kusadari dengan betul bahwa bukan perilakunya yang menantang tapi itu adalah bentuk protesnya terhadap sikap dan sifat ibunya yang berubah. Pun aku memang clueless menghadapi semua polahnya sehingga menambah emosi, keefe semakin protes, menggelinding bagai bola salju. Sebelum hubungan kami makin buruk, kuputuskan bahwa pertama yang harus kulakukan adalah memperbaiki perilakuku dengan niat terapi kesabaran dan keikhlasnya dengan profesional.
Aku dengan segala sisi negatif yang aku rasakan saat ini, mulai dari penyesalan, keberatan, kekecewaan, dan kelelahan dengan sadar bahwa aku lalai melampiaskan semua itu pada anak kecilku. Inferior yang berakibat pada rasa superior. Begitu diagnosis yang kulakukan pada diriku sendiri. Intinya, aku sadar aku salah dan aku harus secepatnya memperbaiki. Aku sadar aku tidak mampu memperbaikinya sendiri maka aku butuh tenaga profesional untuk membantuku.
--
Setelah dipersilakan untuk memulai cerita yang pertama kuucapkan bahwa hari itu aku sedang tidak baik-baik saja. Beberapa menit aku menangis tidak bisa melanjutkan ceritaku. Hariku dimulai dengan perasaan marah kepada anak kecil dan kecewa pada diri sendiri karena merasa sudah salah menanggapi anak kecil di pagi hari. Malam sebelumnya, aku yang sudah membuat tembok dilarang memukul nyaris memukul anak kecil yang membuatku kacau, meninggalkan anak kecil berdua dengan bapaknya lalu menangis sendirian di mesjid depan rumah.
--
Dari banyak latar belakang, aku diminta psikolog untuk meranking mana yang menjadi prioritasku. Aku jawab bahwa aku boleh kehilangan kesabaran atas hal lain tapi aku tidak mau, tidak boleh kehilangan kesabaran menghadapi anak kecilku. Aku gagal mengelola perasaanku bahwa proporsi kesabaranku untuk anakku. Nyatanya anakku hanya mendapatkan sisa kesabaran yang minus.
Aku menceritakan bagaimana Keefe bertanya dan berkata kepadaku
- Ibuk kenapa sekarang cerewet?
- Ibuk kenapa sekarang marah karena Keefe tumpahin air? Keefe mau tanggung jawab kok. Ibuk dulu ngga marah Keefe tumpahin tepung. Ibuk cuma minta Keefe tanggung jawab.
- Ibuk itu bukan ibuknya Keefe.
- Ibuk Keefe itu ngga suka Ibuk berteriak, ibuk nangis di depan Keefe, Ibuk sedih.
- Ibuk, sulit yaa jadi Ibuk? Tapi Ibuk tetep mau kan jadi Ibuknya Keefe?
- Ibuk, maafin Keefe ya udah buat ibuk capek, tapi ibuk jangan capek. Ibuk temenin Keefe. Ibuk jangan sedih.
--
Banyak hal yang kusadari bagaimana aku memperlakukan anakku berbeda dari aku yang sebelumnya. Aku yang saat ini punya tambahan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya justru membuatku tak punya waktu bermain dengan gembira bersama anakku. Hariku dipenuhi rasa terburu yang berakibat aku tak punya fokus apa yang sedang kukerjakan.
Aku jarang melakukan science experiment padahal ketika bekerja di luar rumah aku bisa rutin melakukannya. Aku mulai banyak aturan dan larangan saat bermain padahal aku yang dulu tidak demikian. Saat ditanya psikolog apa yang membuatku berubah saat bermain, kujawab: aku takut akan semakin menambah pekerjaanku, kelelahanku, dan emosiku. Aku larang karena aku takut ada tumpah, rumah berantakan, aku membantu membersihkan, dan aku lelah. Aku larang karena aku enggan bernego dengan Keefe untuk segera bertanggungjawab karena rasanya aku tidak ada kesabaran dan kesanggupan lagi untuk nego dalam damai.
---
Aku berkata bahwa psikolog tolong bantu aku untuk mendapatkan kesabaranku kembali setidaknya seperti dulu. Aku bercerita bahwa Keefe akan sekolah formal bulan Juli nanti. Aku tidak ingin sisa waktuku dihabiskan dengan marah-marah. Aku merasa bahwa waktuku berdua dengan Keefe akan semakin sedikit setelah dia mulai sekolah nanti. Aku ingin waktuku kembali berkualitas dengan limpahan senyuman riang seperti dulu.
Setelah kupikirkan bahwa bukan hanya hubungan kami yang semakin buruk, tapi perilaku Keefe bagaimana dia menghadapi teman-temannya dan situasi di depannya juga mengalami kemerosotan. Keefe yang dulu cuek ketika diejek saat ini seakan menarik diri saat itu terjadi.
--
Aku berada di sini, melepaskan karirku, 24 jam membersamainya, karena aku yang memilih untuk menemaninya dalam kegembiraan, bukan untuk menorehkan luka masa kecil yang akan dia bawa sampai dia meninggalkan dunia ini. Maka aku butuh sembuh, aku butuh bantuan.
Saat ini, aku dibantu psikolog untuk mengelola emosiku. Semoga dilimpahkan rejeki untuk menerima bantuan dari psikolog anak agar aku tau cara membantu Keefe menghadapi dirinya sendiri.
--
Apa yang aku lakukan saat ini adalah caraku untuk bertumbuh, caraku untuk berdamai, caraku untuk sejahtera lahir dan batin. Aku bercerita pada Keefe bahwa ibu ke "dokter" untuk sembuh agar lebih sabar. Semoga yang Keefe ingat bukan ibunya yang pemarah tapi Ibu yang juga berusaha menyembuhkan luka.
Thursday, December 15, 2022
Resign yang di Depan Mata
Saya sudah ngebayangin bahwa resign itu berat ternyata saya salah. Berat BANGET. Well, saya belum benar-benar resign sih. Tapi kayaknya dalam waktu dekat, huhu. Siap ngga? Jujur nggak...
Baca: Resign
Singkat cerita, saya mengajukan Resign ke pimpinan tempat saya bekerja sejak 2021. Tapi karena satu dan lain hal saya "diistimewakan" untuk WFA, melakukan pembelajaran dan pekerjaan yang lain secara daring. Satu sisi saya senang karena meski pendapatan saya jauh berkurang tapi setidaknya saya masih berdaya demi kebutuhan saya sendiri dan memenuhi keinginan-keinginan dalam diri.
Nyatanya, ngga mudah buat saya untuk menjalani peran sebagai ibu, istri, dan karyawan secara berbarengan. Saya ngga bisa mengkotak-kotakkan emosi saya saat saya (terutama) harus berhadapan dengan anak dan layar laptop. Saya kewalahan membagi waktu masak, main dengan keefe, beberes, dan memenuhi deadline pekerjaan saya. Setiap hari bagi saya adalah terburu-terburu.
Terburu-buru memasak demi bisa membereskan rumah.
Terburu-buru membereskan rumah demi bisa main sama Keefe.
Terburu-buru main sama Keefe demi menyelesaikan pekerjaan as a lecturer.
Terburu-buru menyelesaikan pekerjaan demi bisa main sama Keefe.
Saya ngga pernah bisa mindfull dalam mengerjakan segala hal.
Hasilnya, tentu burn out. Yang terkena dampak pasti anak sematawayang saya...
Meski seringkali ikut seminar parenting, seolah teori parenting saya pahami dengan baik, tapi nyatanya saya ngga pernah sukses mengelola emosi di depan Keefe. Keefe adalah satu-satunya manusia saat ini yang menyaksikan bagaimana ibunya tertawa dan menangis. Bahkan, saya ngga pernah nangis bilang capek ke Dicky, tapi berkali-kali saya lakukan itu di depan Keefe.
Berkali-kali saya menyesali tapi selalu mengulangi. Ibu yang gagal :'(
Setiap kali Keefe tantrum atau meltdown, saya melihat ada diri saya dalam dirinya. Cara saya gagal mengelola emosi negatif terserap penuh oleh anak kecil itu. Setiap kali itu terjadi, saya selalu kembali merasa ibu yang gagal.
Saya lelah menghadapi masa-masa burnout ini. Mungkin ini saatnya saya kembali memutuskan untuk betul-betul merelakan karir (semoga) sementara waktu.
Meskipun saya kerap khawatir rejeki (seakan tidak percaya Tuhan), tapi keputusan terbaik dari yang terburuk tetap harus diambil.
Saya ngga mau karena kelelahan mengurus semuanya dalam satu waktu, saya mematahkan hati anak saya...
Beruntung saya punya mama. Meski saya tau, mama sama khawatirnya dengan saya, tapii...
Mama adalah sosok yang menguatkan saya atas segala ketakutan finansial dan kebimbangan pengasuhan. Mama bilang ini saatnya memilih seutuhnya hadir untuk Keefe. Kata mama mungkin sekarang waktunya mencoba skill baru untuk tetap dapat berdaya...
Betul. Dunia(ku) masih baik-baik saja ketika aku masih punya orangtua.
Wednesday, June 29, 2022
Quarter Life Crisis
She's imperfect but she tries
She is hard on herself
She is broken and won't ask for help
She is messy but she's kind
She is lonely most of the time
She is all of this mixed up
And baked in a beautiful pie
Monday, December 27, 2021
2021
2021
Buatku terasa melelahkan
Hati, pikiran, jiwa, raga rasanya udah terbakar habis di 2021.
Bye, 2021