Thursday, March 21, 2024

Kali kedua konsul psikolog sekolah Keefe. Funfact-nya, jangankan konsul sama psikolog, aku ikut kelas parenting aja bisa ngga tidur karena ovt mempertanyakan kenapa aku selalu belajar tapi ngga pernah berhasil. 

Kadang aku mikir, dahlah kayanya aku ngga usah lagi ikut-ikut kelas parenting biar waras biar sekalian ngga tau teori yang ternyata susah untuk diterapin. Tapi ternyata setiap aku mikir demikian ada sisi lain yang berbicara, "kamu belajar kemudian kamu gagal kamu menyesali, memperbaiki, dan kembali belajar artinya kamu tidak abai". Terlebih mamaku selalu mendorongku untuk konsul psikolog untukku pribadi yang sering kelelahan mental ini dan ke psikolog anak untuk tanya biar ga salah menanggapi  Keefe. Mamaku sering bilang, "mama dulu ngga tau, yang mama kira mama bener ternyata belum tentu bener. Dulu akses psikolog susah dan ga ada duit. Sekarang kamu tau dan duit bisa dicari. Kamu ke psikolog karena menurut mama anak kaya Keefe butuh ditangani psikolog". 

Iya, aku tau emang aku butuh saran profesional yang belajar ngga cuma belajar dari pengalaman pribadi tapi dari penelitian dan sains yang jelas sudah ada sampel dan data yang diuji. Tapi aku tau juga ke psikolog butuh hadir berkala berkelanjutan, uang memang bisa dicari tapi untuk saat ini kayanya masih sulit mengejar uang untuk biaya psikolog yang dibayar per jam itu. Maka karena aku tau keterbatasan finansialku, aku cari solusi untuk cari sekolah yang menyediakan psikolog dan konsultasi orangtua secara gratis, meski memang biaya sekolahnya jadi lebih mahal tp itu win solusion buat ku.

Keefe sudah baru dua kali ke psikolog. Sebetulnya karena obeservasi kesiapan SD. 

Kali pertama observasi di TKnya saat ini khusus aku jadwalkan kesiapan SD. Ketika ditanya kenapa aku mau melakukan tes kesiapan masuk SD  aku jawab karena aku ngga mau jemawa, buru-buru memasukkan Keefe SD karena hanya dari penilaianku saja Keefe siap. Aku butuh hasil kesiapan dari profesional karena meskipun menurutku Keefe siap masuk SD tapi secara uji dia belum mandiri dan sebagainya maka Keefe tetap akan TK. Aku ngga mau karena penilaian sesat dan sesaatku kemudian membuat belajar tidak lagi menyenangkan buat Keefe. Dia kesusahan beradaptasi dan efek negatif lainnya. 

Observasi di sekolah dilakukan 10.30 dan berakhir di jam 13.30. Di rentang waktu tersebut aku menunggu di sekolah dengan cemas. Bukan takut hasilnya tidak baik. Tapi, buset lama amat, kasian anak gue. Mindsetku saat itu adalah sama ketika aku ujian masuk universitas, hihi. Pas nunggu sumpah aku mikirin keefe, dia ngapain yaa, jenuh ngga yaa, karena yang dites cuma dia doang. Tapi pas keluar anaknya cengar-cengir bilang seru. Aku tanya ngapain aja yaa dia cerita keseruannya. Alhamdulillahh. 

Ternyata hasilnya keluar lama banget sampai akhirnya waktu observasi kesiapan tes masuk SD di salah satu SD yang kami tuju. Ada dua agenda, observasi kesiapan SD dan seat in di kelas 1 SD. Total waktunya dari 7.30 sampai 11.00. 

Nah pas observasi di calon SD tu Keefe sama psikolog dan guru pedagogik. Aku ngga ikut nganter karena khawatir drama susah melepaskan tangan Ibuk. Pas dapet info Keefe sudah masuk kelas untuk seat in aku baru samperin dan ngejar psikolog untuk konsultasi. Ini sih ngga ada dalam agenda, tapi alhamdulillah sekolah welcome saat aku bilang pengen konsultasi sama psikolognya. 

Pas sesi konsultasi aku dan Bapak Keefe bersama psikolog dan guru pedagogik sementara Keefe di kelas. Sesi dimulai dengan guru pedagogik menyampaikan hasil observasi bahwa Keefe mempunya kemampuan kognitif, berbahasa, dan lainnya (yang aku lupa) di atas rata-rata. Tapi ada banyak hal yang perlu ditingkatkan karena Keefe seolah bertanya saat menjawab, kayanya ngga PD gitu. 

Nah, saat diminta untuk menjelaskan bagaimana Keefe diasuh, disitulah badai air mata menyerang. Aku ngga sanggup berbicara, lama aku menangis terisak. Aku bilang, aku mungkin pernah bangga dengan bagaimana kemampuan Keefe sekarang karena aku yang terlibat langsung membersamainya tapi setelah 24/7 sama Keefe, kebanggaanku menjadi banyak kekhawatiran. 

Aku takut Keefe yang sekarang besok akan berubah karena banyak luka yang buat ke dalam jiwa Keefe. Tentang bagaimana perubahan pola asuhku yang aku sadar banyak kemunduran saat ini, perbedaan ketika aku bekerja di luar rumah dan saat aku di rumah saja. 

Aku merefleksikan tentang bagaimana Keefe saat ini memang tidak seperti Keefe kecil anak pemberani dan mandiri. Tentang bagaimana aku tidak sabar lagi, menuntutnya mengikuti kecepatanku, tidak lagi tenang mendengar isaknya, bentakkanku atas rengekannya, dan menyalahkannya atas ketidakbisaan dan ketidaksanggupanku menanggapi sikap dan perilakunya. 

Aku selalu tau dan sadar bukan perilakunya yang menantang tapi aku yang tak lagi cakap mengelola emosi dan ekspektasi, tak lagi mahir bernegosiasi. Tentang bagaiamana aku melukai perasaannya saat dia menumpahkan sesuatu, saat banyak air di lantai ketika dia berinisiatif cuci piring, dan bagaimana aku tidak lagi membebaskannya di dapur. Aku terlalu lelah membereskan, negosiasi tegas dan baik sulit aku lakukan sehingga dia sadar untuk bertanggungjawab. Tanggung jawabnya hanya karena Ibuk marah, bukan lagi dia sadar. 

Aku tau ngga seharusnya aku berbagi beban mentalku pada anak kecil itu, tapi Keefe jadi satu-satunya pelampiasanku. Aku tau aku salah. Aku tau yang harus diubah bukan anak kecil itu melainkan aku.

Alhamdulillah, aku semakin yakin untuk memasukkan poin tersedianya psikolog dalam daftar pencarian sekolah. Lepasnya tangisanku di depan psikolog seolah menjadi wadah pengakuan doaku dan sarana untuk mengajak bapak Keefe yang ada di sampingku untuk selalu introspeksi dan refleksi sebagai orangtua. 

Senin (18 Maret 2024) kemarin hasil tes kesiapan SD yang sudah dilakukan di TK keluar hasilnya dan aku konsultasi dengan psikolog TK, aku cerita di postingan terpisah karena ternyata udah waktunya jemput anak kecil. 

Nanti kalau suatu saat Keefe baca tulisan Ibu ini, seperti yang selalu Ibu bilang Keefe, Ibu akan selalu belajar untuk jadi ibu yang lebih baik, yang membersamai Keefe dengan mengobati luka Keefe yang udah terlanjur Ibu kasih ke Keefe. 

Tuesday, March 19, 2024

Tinggal di bandung

Bandung menjadi kota besar kedua setelah Jakarta tempatku merantau. Hmm entah Surabaya dan Sidoarjo dapat disebut tempat merantau juga ngga yaa (?).

Tinggal di Bandung hampir dua tahun ini, atas tinggal bersamanya kami di satu atap yang sama membuatku bersyukur bahwa Keefe merasakan menunggu Bapak pulang kerja, membangunkan bapak, dan menagih janji bapak untuk main bersama. Bersama di Bandung (semoga) menjadikan Keefe lebih bahagia karena lihat Bapak dan Ibunya, kedua orangtuanya sama-sama terlibat atas banyak aktivitas sekolahnya -yang mungkin kalau aku tetap menjalani LDR hanya aku yang selalu hadir di setiap acara sekolahnya. 

Karena memilih sekolah di Bandung, seenggaknya bapak Keefe melihat dan mendengarkan tangisanku di depan psikolog salah satu calon sekolah Keefe tentang bagaimana aku berutang pengasuhan terhadap Keefe, bagaimana aku justru menjadi momster ketika 24/7 bareng dia.

Dan karena tinggal di Bandung, aku dan bapak Keefe yang tadinya ngga bersepakat soal pemilihan sekolah jadi punya kesamaan kriteria sekolah. Karena apa? Tentu bukan karena diskusi kami berdua, tapi karena bapak Keefe lihat dan merasakan langsung sekolah TK yang kami pilih dan survey beberapa sekolah dasar. Beliau jadi tau bahwa setiap sekolah itu memang berbeda dan yang paling cocok adalah yang sesuai dengan value keluarga. Memang tipikal manusia yang harus merasakan daripada mendengar pendapat, hihi...

Namun, aku mau bercerita tentang bagaimana sukanya aku tinggal di Bandung:

1. Bisa belajar banyak hal dengan pakar secara langsung 
Tentu saja asal ada duitnya, hehe. . Sungguh aku ngga bisa melupakan semangatnya diriku saat datang ke acara parenting dengan narasumber yang dulunya cuma bisa aku dengarkan di ruang zoom atau Instagram live sambil ngantuk atau mengerjakan sesuatu lainnya. Bisa sambil bergumam "wah banyak banget peserta bapak-bapak", "ternyata cakep banget narasumber pas ketemu langsung". Ngga sempet ngantuk, karena seseru itu datang langsung ke acara parenting. Meskipun banyak pelatihan yang bukan parenting banyak diadakan di Bandung daripada Surabaya tapi sejauh ini budget datang langsung masih bisa kusiapkan dan ku prioritaskan untuk tema parenting. Semoga Allah cukupkan dan lebihkan biar aku bisa cari ilmu lain selain ilmu parenting.

2. Pilihan sekolah dan tempat les
Lagi-lagi asal ada duitnya, hihi... Alhamdulillah kontrakan kami dikelilingi sekolah dari yang bagus sampai bagus banget. Terus, sebagai orang yang tidak bisa berlalulintas, tempat les mulai dari musik dan olahraga gampang banget aku gapai. Sejauh ini, aku bukan tipe ibu yang lesin anak pelajaran sekolah :) Meskipun sebagai introvert aku ngga papa banget tinggal di gunung, tapi rejeki kontrakan di tempatku yang sekarang menyadarkan ku bahwa hidupku sekarang bukan tentang aku aja, tapi ada bocil yang harus dicukupi dari segala sisi dan aku butuh bantuan pihak lain ketika aku ngga bisa mencukupinya dengan tanganku sendiri. 

3. Wargi Bandung 
Tau ga sih gara-gara setahun lebih di Jakarta dan hampir dua tahun tinggal di Bandung aku jadi punya stereotipe tentang penduduk bagian barat dan timur pulau Jawa. Maafkan yaa, ini pengalaman pribadi, sungguh ini hanya stereotipe yang aku buat sendiri hihi. . 

Nih yaaa, aku tu pas tinggal di Surabaya termasuk -yang kata orang- golongan cupu yang ngga bisa nyetir mobil atau kemana yang jauhan dikit kudu naik ojek online. Banyak banget yang bilang "belajar mobil dong, biar ga ngerepotin, biar gampang kemana sendiri", meskipun ngga sampe yang bikin gedeg karena aku tu termasuk tipe yang masuk kanan keluar kiri urusan begituan. Karena yaaa, menurutku, aku ngga bisa naik mobil juga ngga ngerepotin orang, ada uang kunaik ojek online ngga ada uang yaa artinya emang aku harus di rumah saja. Urusan darurat, ada uang ngga ada uang kan yaa tetep harus berangkat, ya nggaaa. . Mamaku sebagai role modelku yang ngga bisa naik motor mobil bahkan masih bisa survive kemana-mana sendiri karena sering ditinggal papa keluar kota. 

Tapi niihhh pas di Bandung, buanyaakk banget perempuan-perempuan yang bahkan ngga bisa naik motor dan mobil. Sungguh kumerasa superior, haha. Sering ketemu tetangga peran suami di warung sayur, hmm biasa ibu-ibu kepo dalam hati bertanya kemana istrinya ga pernah keliatan, anjem anak juga suami, laah terus dapat jawaban ternyata dia ga bisa bawa kendaraan. Tetangga lagi juga cerita klo ga bisa bawa motor mobil jadi dia anjem anak pake sepeda listrik. Mama temen sekolah Keefe yang sekarang jadi temenku juga ngga bisa bawa motor dan mobil. Haaahh sumpah, di kota besar justru aku menemukan teman "golongan cupu" mungkin aku leadernya karena mayan lah aku bisa anjem Keefe sendiri pake motor karena jalanan Bandung yang sempit ini, hihi. .
--
Adalagi niihhhh, aku ga pernah dapet kalimat lanjutan dari jawabanku "iyaa, cuma Keefe aja, satu doang", belum pernah inget ada wargi Bandung yang "sok atuh nambah", "udah waktunya tuh, cukup loh jarak usianya", kaga pernah ada kalimat nasihat nambah anak yang kudengar dari wargi Bandung bahkan dari Generasi Baby Boomers yang kupanggil nenek, nin, dan eyang. Obrolan soal anak berhenti pada pertanyaan berapa anaknya tanpa ada embel-embel lanjutan. 

Sementara pengalamanku tinggal di Jatim, yaahhh sebaliknya haha. Meski aku ga pernah ambil pusing soal nasihat orang-orang soal anak kedua. 

Fun fact nih ketika aku update status "Duhh jangan cepet besar dong Keefe",
 
respon kontak warga Jatim : 
"Ibunya galau nih, gass nambah lagi"
" Yo dibikinin adik biar ada gantinya"

respon kontak wargi:
emot peluk

Nah gara-gara respon kontak wargi aku sadar iya juga yaa kenapa ungkapan "kangen Keefe bayi" atau "jangan cepet besar dong" selalu diasosiasikan untuk nambah individu baru sebagai pengganti? Kenapa?

apakah "hmmm aku kangen deh masa-masa pacaran" artinya aku harus cari pacar baru? Nyahahaha

Aku juga menemukan banyak teman di Bandung, karena apapun motivasinya dan latar belakangnya, banyak orangtua dengan satu anak yang seumur Keefe atau bahkan lebih. Beberapa teman sekolah Keefe juga (masih) anak tunggal. Yey...
--
Seperti yang sudah aku ceritakan di poin satu, Bandung merupakan tempat di mana para ayah juga terlibat dalam pengasuhan itu ada ngga cuma dalam bayangku. Dalam beberapa kali kegiatan di sekolah Keefe yang boleh hanya dihadiri satu orangtua, ngga sedikit yang datang ya para ayah sambil membawa satu adik kecil di gendongannya. Pas acara sosialisasi orangtua saat observasi SD Keefe orangtua datang berpasangan, bahkan ada beberapa di mana ayah hadir seorang diri. Ohiya di grup orangtua sekolah TK keefe juga anggotanya ada ayah. Bandung membuatku semakin yakin bahwa banyak orangtua yang sudah tidak lagi membebankan pengasuhan terhadap salah satu pihak saja. 
--
Keefe sudah daftar ulang SD kemudian mencuat kasus Bullying di sekolah elite, jujur itu sempat membuatku ketar-ketir akan status ekonomi. Meski aku ngga pernah bosan menjelaskan hingga bermain peran soal bullying tapi akhirnya rasa takut Keefe masuk ke lingkaran setan itu muncul. Hingga kemudian aku tersadarkan kembali bahwa ini Bandung. Aku bertemu banyak orangtua dengan visi misi yang terlihat sama dengan yang aku punya. Di sekolah saat ini banyak anak anjem dengan mobil tapi ngga sedikit yang naik sepeda listrik. Bahkan, teman dekat Keefe di rumah, sekolah di sekolah yang overbudget menurut kami tapi mobilnya biasa saja, rumahnya biasa saja, dan selalu anjem dengan sepeda listrik atau sepeda motor. Anak teman kuliahku yang saat ini jadi wargi Bandung juga sekolah di sekolah overbudget kami dengan penampilan "biasa saja". Artinya mungkin status ekonomi bisa kucoret dari bahan ovt. Sekolah mahal Bandung memang bukan karena gengsi aja tapi karena kebutuhan kualitas ditambah orangtua wargi yang banyak belajar parenting kali yaaa... Semoga bisa kasih modal kisi-kisi pertemanan ke Keefe ya Allah...
----------------

Ada banyak hal keistimewaan tinggal di Bandung yang mungkin membuatku betah hidup di sini. Tapi ada satu hal yang selalu membuatku rindu dan mendambakan untuk pulang. Karena sebaik-baiknya Bandung adalah tempat yang setiap hari membuatku menangis karena kesepian. Tempat dimana aku merasa bosan dan jenuh. Tempat di mana aku merasa diriku semakin bodoh dan jelek. Tempat bahwa aku yakin bahwa ternyata semakin dewasa semakin aku jadi ibu semakin aku butuh orangtuaku.

Bandung dengan segala euforia dan problemnya, aku tinggal di sini. Sekarang, entah sampai kapan.  
 

  
 

Monday, January 15, 2024

"Obrolan Dewasa" bersama Bocah Lima Tahun

Salah satu kesan yang diberikan guru sekolah Keefe saat sesi Parent Teacher Conference adalah kemampuan Keefe nyambung pada topik-topik dewasa yang mungkin teman-teman seusianya tidak tertarik atau bahkan tidak mengerti. Saat ku sampaikan perihal tersebut ke Bapak Keefe, doi bilang "yaa karena suka ngobrol sama kamu". 


Aku emang suka ngobrol banyak hal sama Keefe. Mulai membahas topik yang sedang terjadi di lingkungan, bahasan dari buku, bahkan melibatkan dia, bertanya pendapatnya, atau mungkin bisa dibilang lebih sering curhat sama Keefe ketimbang bapake. Pernah kutanya saat sesi psikolog  rambu-rambu topik apa yang harus hati-hati atau berhenti tak boleh kuceritakan. Psikologku bilang, "Boleh curhat tapi hati-hati bercerita tentang suami. Jangan sampai anak kita menjadi Fatherless sebab kata-kata kita padahal ayahnya ada."


Akan kutulis bagaimana aku melibatkan Keefe dalam setiap keputusan penting yang aku buat. Adalah hari, saat perjalanan dari rumah ke kampus, di atas motor, aku memulai percakapan,


Ibuk (I): "Keefe, hari ini mungkin hari terakhir ibu ke kampus. Mungkin sedikit waktu ke depan, hari-hari terakhir ibuk ngajar, karena nanti ibuk akan bilang ke boss ibuk kalo ibuk mau berhenti kerja. Keefe doain ibuk ya"

Keefe (K) : "Kenapa? Ibuk ngga boleh berhenti kerja"

I: "Ibukkan ngga bisa ke kampus tiap hari. Ibuk ngga bisa ngajar di kampus tiap hari, ngga bisa ketemu mahasiswa ibuk, ngga bisa kerjasama bantuin pekerjaan yang harusnya ibuk selesaikan bareng temen-temen yang tiap hari ke kampus." 

K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja. Ibuk kan bilang orang dewasa itu harus kerja. Terus kenapa sekarang ibuk mau berhenti kerja?"

I: "Yaa itu, kan sama kaya Keefe kalo keefe bilang Keefe ngga mau les ibuk kasih pilihan mau berhenti aja ta lesnya? Sama ibuk udah lama ninggalin kampus, ibuk ngga bisa ke kampus tiap hari. Kasian mahasiswa ibuk dan temen-temen ibuk yang mereka sebenernya juga butuh ibuk untuk dateng ke kampus. Ibuk terima gaji tapi ibuk ngga bisa kerja semestinya jadi ibuk merasa ngga enak hatinya. "

K: "Yaudah kalo gitu Ibuk ke kampus aja. Kita pindah lagi aja ke Surabaya"

I: "Loh, sekolah Keefe gimana? Bapak gimana? Lagian dulu keefe pernah bilang kalo ibuk ngga boleh kerja. Ibuk di rumah aja nemenin Keefe"

K: "Sekolah keefe bisa pindah buk. Terus bapak dulu pernah tinggal sama temen-temennya. Yaudah gapapa bapak sekarang biar tinggal sama temen-temennya lagi. Keefe pokoknya ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk bilang orang dewasa harus kerja"

I: "Kenapa ibuk ngga boleh berhenti kerja? Kan kalo ibuk berhenti kerja ibuk mungkin bisa lebih fokus nemenin Keefe. Ibuk ngga capek mikirin harus kerja padahal ibuk lagi masak atau lagi nemenin keefe. Ibuk ngga kepikiran keefe kalo ibuk lagi kerja. Dulu Keefe pernah bilang ngga mau ibuk kerja"

K: "itu dulu buk. Sekarang keefe udah bisa sendiri. Keefe udah bisa main sendiri kalau ibuk kerja. Kalo ibuk sekarang berhenti kerja, ibuk mau kalo Keefe udah dewasa keefe ngga kerja?"

I: "Yaa bukan Keefe. Ibuk berhenti kerja karena ibuk ngga bisa ke kampus, padahal aturannya harus ke kampus. Ibuk ngga bisa ngajar ketemu mahasiswa ibuk padahal mahasiswa ibuk pengen ketemu langsung sama ibuk. Ibuk ngga bisa kerja yang sama kaya temen-temen ibuk, padahal temen-temen ibuk butuh ibuk".

K: "Pokoknya ibuk ngga boleh berhenti kerja"

Kurang lebih begitu percapakan kami di atas motor sampai akhirnya kami tiba di kampus. Saat turun dari motor dan melepas helm, ku lihat mata Keefe berkaca-kaca. Aku kaget ngga mengira dia akan menangis. Setelah kutanya, "Keefe nangis?" makin lepas tangisannya yang membuatku berjongkok agar sejajar dengannya.

K: "Ibuk, keefe butuh dipeluk dulu."

Sambil kupeluk, Keefe melanjutkan kalimatnya

K: "Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja. Ibuk, engkong sama emak aja udah tua tapi masih kerja. Kenapa ibuk malah berhenti kerja? Masa Keefe harus minta uang sama Emak dan Engkong terus? Uang emak dan engkong udah dikasih ke supir truk. Gimana kalo Keefe butuh sesuatu, keefe pengen jajan, keefe butuh beli buku, beli mainan, gimana sekolah Keefe? Keefe ngga mau ibuk berhenti kerja."

Akhirnya di parkiran sambil jongkok ku peluk Keefe. Jadilah kami berdua, ibuk dan anak yang sama-saama menangis di parkiran motor. Mesraaa

I: "Keefe takut ibuk ngga punya uang yaa. Sama. Ibuk juga takut ibuk ngga punya uang. Ibuk juga takut ngga bisa beli skincare, beli baju, beli mainan, beli buku. Ibuk juga takut banget ngga punya uang lagi. Makanya Keefe doain yaa, abis ibu berhenti dari sini, doain ibuk biar bisa punya kerjaan lagi, biar bisa dapet uang lagi. Keefe juga ngga perlu takut. Bapakkan masih kerja, masih bisa kok insyaallah untuk beliin buku keefe, untuk sekolah keefe."

K: "Ibuk, bapakkan juga masih kuliah, belum kerja di rel lagi. Uang bapak juga sedikit. Dulu aja waktu bapak masih kerja di rel kalo Keefe bantu bapak parkir mobil Keefe dapet uang parkir dari bapak. Sekarang sejak bapak kuliah, tiap keefe parkirin mobil bapak, keefe udah ngga dikasih lagi uang parkir. Gimana kalo Keefe butuh untuk keperluan sekolah Keefe?"

(Yaa Allah pengen ketawa di sela nangis denger uang parkir. Ternyata anak gue pengamat keadaan)

 I: "Insyaallah kalo untuk keperluan sekolah Keefe, hobbi keefe, ibuk dan bapak akan usaha cari uangnya. Keefe doain Ibuk, abis berhenti dari sini ibuk akan cari kerja lagi. Kalo belum dapet kerja, ibuk mau coba jualan kaya emak dulu, Jual makanan, nanti ibuk bikin masakan terus ibuk jual biar ibuk dapet uang lagi."

K: "Ibuk janji yaa. Ibuk langsung cari kerja lagi atau ibuk langsung jualan kalo ibuk berhenti kerja. Ibuk peluk dulu. Mau ga gendong Keefe?"

I: "Mau. tapi klo gendong di rumah. Ini kan kita harus naik ke lantai dua kalo gendong keefe bisa pingsan ibuk."


Begitulah akhir percakapan kami. Dengan Keefe yang masuk ruang dosen dengan muka kusut. Disambut heran oleh rekan dosen karena tak seceria biasanya. 

Hari itu, aku makin tau anak lima tahun ku sudah dewasa, sudah paham finansial, sudah bisa insecure masa depan.

Hari itu, di mana aku kembali mengajukan surat permohonan berhenti berkerja.