Tuesday, April 4, 2023

Akhirnya ke Psikolog

Setelah lama menimbang banyak hal, akhirnya Senin (3 April 2023) kemarin aku melakukan konseling secara daring dengan salah satu psikolog di Bandung. Banyak hal yang membuatku akhirnya memutuskan untuk konseling setelah sebelumnya maju mundur. Hal terbesar adalah hubunganku dengan Keefe yang tadinya mesra, romantis, dan harmonis akhir-akhir ini seperti kucing dan anjing. 

Aku semakin kualahan menghadapi tingkahnya namun kusadari dengan betul bahwa bukan perilakunya yang menantang tapi itu adalah bentuk protesnya terhadap sikap dan sifat ibunya yang berubah. Pun aku memang clueless menghadapi semua polahnya sehingga menambah emosi, keefe semakin protes, menggelinding bagai bola salju. Sebelum hubungan kami makin buruk, kuputuskan bahwa pertama yang harus kulakukan adalah memperbaiki perilakuku dengan niat terapi kesabaran dan keikhlasnya dengan profesional.

Aku dengan segala sisi negatif yang aku rasakan saat ini, mulai dari penyesalan, keberatan, kekecewaan, dan kelelahan dengan sadar bahwa aku lalai melampiaskan semua itu pada anak kecilku. Inferior yang berakibat pada rasa superior. Begitu diagnosis yang kulakukan pada diriku sendiri. Intinya, aku sadar aku salah dan aku harus secepatnya memperbaiki. Aku sadar aku tidak mampu memperbaikinya sendiri maka aku butuh tenaga profesional untuk membantuku.

--

Setelah dipersilakan untuk memulai cerita yang pertama kuucapkan bahwa hari itu aku sedang tidak baik-baik saja. Beberapa menit aku menangis tidak bisa melanjutkan ceritaku. Hariku dimulai dengan perasaan marah kepada anak kecil dan kecewa pada diri sendiri karena merasa sudah salah menanggapi anak kecil di pagi hari. Malam sebelumnya, aku yang sudah membuat tembok dilarang memukul nyaris memukul anak kecil yang membuatku kacau, meninggalkan anak kecil berdua dengan bapaknya lalu menangis sendirian di mesjid depan rumah. 

--

Dari banyak latar belakang, aku diminta psikolog untuk meranking mana yang menjadi prioritasku. Aku jawab bahwa aku boleh kehilangan kesabaran atas hal lain tapi aku tidak mau, tidak boleh kehilangan kesabaran menghadapi anak kecilku. Aku gagal mengelola perasaanku bahwa proporsi kesabaranku untuk anakku. Nyatanya anakku hanya mendapatkan sisa kesabaran yang minus. 

Aku menceritakan bagaimana Keefe bertanya dan berkata kepadaku

  • Ibuk kenapa sekarang cerewet?
  • Ibuk kenapa sekarang marah karena Keefe tumpahin air? Keefe mau tanggung jawab kok. Ibuk dulu ngga marah Keefe tumpahin tepung. Ibuk cuma minta Keefe tanggung jawab.
  • Ibuk itu bukan ibuknya Keefe.
  • Ibuk Keefe itu ngga suka Ibuk berteriak, ibuk nangis di depan Keefe, Ibuk sedih.
  • Ibuk, sulit yaa jadi Ibuk? Tapi Ibuk tetep mau kan jadi Ibuknya Keefe?
  • Ibuk, maafin Keefe ya udah buat ibuk capek, tapi ibuk jangan capek. Ibuk temenin Keefe. Ibuk jangan sedih.
Terakhir, saat memandikan Keefe, tiba-tiba Keefe berkata, "Ibuk, kalau Ibuk ngajar sama mahasiswanya Ibuk, Ibuk jangan cemberut kaya sekarang nanti mahasiswa ngga seneng dan takut". Seketika aku sadar bahwa saat ini tersenyum saja aku tak punya tenaga. 

--

Banyak hal yang kusadari bagaimana aku memperlakukan anakku berbeda dari aku yang sebelumnya. Aku yang saat ini punya tambahan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya justru membuatku tak punya waktu bermain dengan gembira bersama anakku. Hariku dipenuhi rasa terburu yang berakibat aku tak punya fokus apa yang sedang kukerjakan.

Aku jarang melakukan science experiment padahal ketika bekerja di luar rumah aku bisa rutin melakukannya. Aku mulai banyak aturan dan larangan saat bermain padahal aku yang dulu tidak demikian. Saat ditanya psikolog apa yang membuatku berubah saat bermain, kujawab: aku takut akan semakin menambah pekerjaanku, kelelahanku, dan emosiku. Aku larang karena aku takut ada tumpah, rumah berantakan, aku membantu membersihkan, dan aku lelah. Aku larang karena aku enggan bernego dengan Keefe untuk segera bertanggungjawab karena rasanya aku tidak ada kesabaran dan kesanggupan lagi untuk nego dalam damai.

---

Aku berkata bahwa psikolog tolong bantu aku untuk mendapatkan kesabaranku kembali setidaknya seperti dulu. Aku bercerita bahwa Keefe akan sekolah formal bulan Juli nanti. Aku tidak ingin sisa waktuku dihabiskan dengan marah-marah. Aku merasa bahwa waktuku berdua dengan Keefe akan semakin sedikit setelah dia mulai sekolah nanti. Aku ingin waktuku kembali berkualitas dengan limpahan senyuman riang seperti dulu. 

Setelah kupikirkan bahwa bukan hanya hubungan kami yang semakin buruk, tapi perilaku Keefe bagaimana dia menghadapi teman-temannya dan situasi di depannya juga mengalami kemerosotan. Keefe yang dulu cuek ketika diejek saat ini seakan menarik diri saat itu terjadi. 

--

Aku berada di sini, melepaskan karirku, 24 jam membersamainya, karena aku yang memilih untuk menemaninya dalam kegembiraan, bukan untuk menorehkan luka masa kecil yang akan dia bawa sampai dia meninggalkan dunia ini. Maka aku butuh sembuh, aku butuh bantuan.

Saat ini, aku dibantu psikolog untuk mengelola emosiku. Semoga dilimpahkan rejeki untuk menerima bantuan dari psikolog anak agar aku tau cara membantu Keefe menghadapi dirinya sendiri. 

--

Apa yang aku lakukan saat ini adalah caraku untuk bertumbuh, caraku untuk berdamai, caraku untuk sejahtera lahir dan batin. Aku bercerita pada Keefe bahwa ibu ke "dokter" untuk sembuh agar lebih sabar. Semoga yang Keefe ingat bukan ibunya yang pemarah tapi Ibu yang juga berusaha menyembuhkan luka.