Thursday, December 15, 2022

Resign yang di Depan Mata

Saya sudah ngebayangin bahwa resign itu berat ternyata saya salah. Berat BANGET. Well, saya belum benar-benar resign sih. Tapi kayaknya dalam waktu dekat, huhu. Siap ngga? Jujur nggak...

Baca: Resign


Singkat cerita, saya mengajukan Resign ke pimpinan tempat saya bekerja sejak 2021. Tapi karena satu dan lain hal saya "diistimewakan" untuk WFA, melakukan pembelajaran dan pekerjaan yang lain secara daring. Satu sisi saya  senang karena meski pendapatan saya jauh berkurang tapi setidaknya saya masih berdaya demi kebutuhan saya sendiri dan memenuhi keinginan-keinginan dalam diri.


Nyatanya, ngga mudah buat saya untuk menjalani peran sebagai ibu, istri, dan karyawan secara berbarengan. Saya ngga bisa mengkotak-kotakkan emosi saya saat saya (terutama) harus berhadapan dengan anak dan layar laptop. Saya kewalahan membagi waktu masak, main dengan keefe, beberes, dan memenuhi deadline pekerjaan saya. Setiap hari bagi saya adalah terburu-terburu. 


Terburu-buru memasak demi bisa membereskan rumah.

Terburu-buru membereskan rumah demi bisa main sama Keefe.

Terburu-buru main sama Keefe demi menyelesaikan pekerjaan as a lecturer.

Terburu-buru menyelesaikan pekerjaan demi bisa main sama Keefe.

Saya ngga pernah bisa mindfull dalam mengerjakan segala hal.

Hasilnya, tentu burn out. Yang terkena dampak pasti anak sematawayang saya...


Meski seringkali ikut seminar parenting, seolah teori parenting saya pahami dengan baik, tapi nyatanya saya ngga pernah sukses mengelola emosi di depan Keefe. Keefe adalah satu-satunya manusia saat ini yang menyaksikan bagaimana ibunya tertawa dan menangis. Bahkan, saya ngga pernah nangis bilang capek ke Dicky, tapi berkali-kali saya lakukan itu di depan Keefe. 

Berkali-kali saya menyesali tapi selalu mengulangi. Ibu yang gagal :'(


Setiap kali Keefe tantrum atau meltdown, saya melihat ada diri saya dalam dirinya. Cara saya gagal mengelola emosi negatif terserap penuh oleh anak kecil itu. Setiap kali itu terjadi, saya selalu kembali merasa ibu yang gagal.


Saya lelah menghadapi masa-masa burnout ini. Mungkin ini saatnya saya kembali memutuskan untuk betul-betul merelakan karir (semoga) sementara waktu. 

Meskipun saya kerap khawatir rejeki (seakan tidak percaya Tuhan), tapi keputusan terbaik dari yang terburuk tetap harus diambil.

Saya ngga mau karena kelelahan mengurus semuanya dalam satu waktu, saya mematahkan hati anak saya...

Beruntung saya punya mama. Meski saya tau, mama sama khawatirnya dengan saya, tapii...


Mama adalah sosok yang menguatkan saya atas segala ketakutan finansial dan kebimbangan pengasuhan. Mama bilang ini saatnya memilih seutuhnya hadir untuk Keefe. Kata mama mungkin sekarang waktunya mencoba skill baru untuk tetap dapat berdaya...


Betul. Dunia(ku) masih baik-baik saja ketika aku masih punya orangtua.





Wednesday, June 29, 2022

Quarter Life Crisis

She's imperfect but she tries

She is good but she lies
She is hard on herself
She is broken and won't ask for help
She is messy but she's kind
She is lonely most of the time
She is all of this mixed up
And baked in a beautiful pie
She is gone but she used to be mine
--Kukira lagu ternyata kisahku. 
Begitu tulis caption akun @melisahart tempat pertama saya tau lagu itu.
"Ku kira lagu ternyata hidupku" Begitu pikirku
dan begitu ku search lengkapnya di Youtube, kubaca liriknya sambil kumenangis.

Sungguh, itu gambaran diriku, yang kurasakan saat ini. Kurindukan diriku yang dulu saking lelahnya pada emosi-emosi negatif yang kurasakan bertahun belakangan ini. 
Beberapa waktu terakhir kurasa mungkin kusedang mengalami yang namanya Quarter Life Crisis, maybe.
Entah, mungkin teman-temanku yang lain di usia saat ini, sudah melewati fase itu, dan sedang memetik hasilnya. Tapi, aku bahkan masih ada di fase meski usia sudah lebih dari tiga puluh tahun dan rasanya semakin hari ketakutan akan masa depan dan penyesalan atas keputusan-keputusan yang telah kuambil semakin merajarela.
Bayangan buruk hampir tiap hari ku rasa yang membuat kumenangisi hidup - yang rasanya meski sudah kuusahakan yaaahh begini-begini saja. Jalan di tempat.  
Rasa bersalah terhadap Keefe, mama, papa, dan diri sendiri selalu menghantui. Kaya ngga pernah bener jadi ibu, anak istri dan bahkan diri sendiri. Rasanya frekuensi menghela napas atas setiap kejadian dan ketakutan akan masa depan sering kali kualami. 
Katanya, hampir sebagian besar wanita yang sudah menikah merasakan ini, merindukan dirinya di masa lalu. Yaaahh tapi kenapa aku tidak ditakdirkan jadi bagian  kecil saja???
Sering kuberpikir, apakah aku kurang bersyukur? Lalu helaan napas kembali terdengar di telinga sendiri. Lagi-lagi aku menyalahkan diri. 
Berulang ku berdoa "Aku rasa aku sudah cukup kuat, ya Allah. Please jangan lagi uji aku agar aku lebih kuat.", berulang pula ku merasa cemas, aku takut bahwa nyatanya aku masih lemah di mata Allah. 
Satu yang sedang dan selalu kuusahakan untuk dapat bertahan. Kusugesti diriku sendiri, bahwa aku sudah cukup baik melakukan apa yang kubisa. Aku bangga pada diriku sendiri, atas apa yang sudah aku relakan dan apa yang sedang aku usahakan. 
Aku yang sekarang adalah keputusan yang sudah kubuat dengan sadar di masa lalu. Dan penyesalan adalah bentuk kepedulian pada diriku yang membantuku membuat keputusan di masa depan.