Saturday, September 18, 2021

RESIGN.

    Tiga tahun belakangan saya seolah berada dalam comfort zone. Dicky, yang awalnya bertugas di Cirebon, dua bulan setelah kelahiran Keefe akhirnya mutasi ke Jawa Timur. Hidup saya nyaman karena jarak kami semakin dekat pun saya tidak harus meninggalkan jauh orangtua saya. LDM, bagi kebanyakan orang adalah momok, tapi entah mengapa justru keadaan demikian membuat saya nyaman dan aman karena meminimalkan konflik kami berdua karena waktu bertemu yang terbatas. 

    Sebelum pandemi, saya merasa terberkahi sekali karena Allah memberikan saya privilege sebagai ibu bekerja. Sungguh saya berhutang kepada mama saya yang rela ikut saya, menyelesaikan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab saya dari mulai pengasuhan Keefe bahkan urusan domestik rumah tangga, kepada papa saya yang rela mengeluarkan uang lebih untuk SPP adik saya, agar bisa menemani saya menjaga cucu pertamanya. Melegakan sekali. Adanya mama yang menemani saya di Sidoarjo memberikan keleluasan bagi saya sebagai ibu bekerja. Saya bisa pulang ke rumah jika pekerjaan di kampus selesai, saya bisa tenang mengajar malam karena saya percaya mama saya bisa menghandle Keefe bahkan mungkin lebih baik dari saya. Pulang kampus, saya bisa fokus main sama Keefe tanpa perlu rungsing karena lihat rumah berantakan, piring kotor, dan cucian baju. Saya benar-benar bisa meluangkan "sisa" waktu saya hanya fokus #mainbarengncip meski masih sering cheating scroll IG, lol. Intinya, hidup saya kemarin benar-benar nyaman, aman, dan tentram. Dan saya bukan tipe penyuka tantangan dengan motto keluar dari zona nyaman maka hidupmu akan berkembang. dahlah saya berkembang justru di comfort zone.

    Sampai pada akhirnya, cvd19 menyerang, wfh-wfo-wfh-wfo, dan mama harus menemani papa saya bekerja di kota lain. Pikiran, badan, dan hati saya terbelah-belah. Saya nyaris hanya tidur empat-lima jam per hari. Saya ingin bekerja tapi tetap ingin Keefe terstimulasi dengan baik. Dulu, ketika mama 24 jam bersama kami, saya tenang karena meski tidak 100 persen sama tapi kami banyak bersepakat soal pola asuh. Tidak gadget, tidak permen, tidak chiki, yang terpenting mama selalu memperhatikan pola makan dan gizi Keefe. Meski tidak berkurikulum mama saya selalu mengajak Keefe beraktivitas apapun yang mama kerjakan, mulai dari masak, membuat kue, cuci, jemur, dan sebagainya. Bagian dari pengajaran basic life skill yang diajarkan di sekolah kekinian kan. Sekarang, saya harus jumpalitan menjaga proses stimulasi Keefe, makannya, rumah berantakan, cucian kotor, dan pekerjaan saya sebagai wanita bekerja. 

    Saya selalu merasa bersalah ketika harus menyerahkan pengasuhan pada Youtube. Sambil bekerja hati saya menangis membayangkan Keefe yang hanya tiduran sambil nonton dengan tenang. Jika pekerjaan saya bisa saya kerjakan malam hari, saya lebih memilih lembur demi siang-malam bisa menemani Keefe beraktivitas atau mengajaknya mengerjakan pekerjaan domestik rumah sama seperti yang mama saya lakukan. Agar tidak mati gaya, akhirnya saya sekolahkan Keefe secara daring sejak Maret 2020 agar aktivitas kami lebih terarah. 

    Hampir setiap hari saya bekerja, menyelesaikan pekerjaan sebagai seorang dosen yang tertunda pk 10 malam sampai 3 pagi. Rasa-rasanya pekerjaan makin dikerjakan bukan makin selesai tapi makin bertambah. Yes, saya mengalaminya, akhirnya burn out. Menangis karena merasa bersalah kepada Keefe yang terabaikan, kepada pekerjaan saya yang tersisihkan, dan kepada diri sendiri yang terkorbankan. Saya lelah tenaga, pikiran, jiwa, dan segala-galanya. 

    Mama saya selalu bilang untuk jaga kesehatan dan jaga pikiran untuk tidak tidur larut, berhenti terlalu idealis, dan Keefe sama mama aja :"( Tapi saya sudah terbiasa setiap hari bersama Keefe ditambah saya ngga bisa berkendara, gimana kalau saya kangen Keefe?

    Dulu saya punya rencana, jika pada akhirnya mama tidak bisa menemani kami, saya akan sekolahkan Keefe fullday agar masa golden agenya optimal, tapi bagi saya itu mustahil dilakukan. Saya ngga mau ambil resiko terpapar cvd. Hire asisten rumah tangga untuk mengasuh Keefe tidak akan pernah ada dari kamus saya. Bagi saya, lebih baik Keefe tinggal dengan mama saya, jauh dari saya, daripada sebagian besar waktunya dalam sehari bersama ART. Sekecil pengamatan saya, ART tidak berkontribusi apapun terhadap pengembangan anak. Dari yang saya amati di lingkungan tempat saya tinggal, motto ART dalam menjaga anak adalah yang penting anak ngga nangis, wis

    Setahun belakangan, seiring bertambahnya beban kerja di kantor, bertambah juga rasa bersalah saya pada Keefe. Saya bukan tipe manusia  yang gampang insecure, tapi sejak jadi ibu masa kini yang bersosial media saya jadi gampang menyalahkan diri kenapa saya ngga bisa seperti dia, ibu bekerja tapi (dari yang saya lihat dari sosial media) tetap mampu menemani anak bermain dan mengerjakan aktivitas sekolah dengan menyenangkan. Mempertanyakan diri sanggup ngga ya saya seperti dia melepas karir demi menemani Keefe di masa seperti ini. Sungguh saya yang overthinker menjadi lebih overthinking. Kelepasan marah sama Keefe membuat saya menangis menyesal kenapa saya harus marah pada anak tiga tahun? Teori parenting yang saya pelajari bubar jalan. Setiap hari saya marah, setiap malam saya menyesal, dan itu selalu terulang setiap hari. 

    Setahun ini saya galau pada keputusan resign. Bekerja, tapi hidup saya tidak tenang dengan rasa bersalah karena ga optimal menemani Keefe, tidak amanah dalam pekerjaan, dan melupakan kalau saya juga butuh bahagia. Tapi saya takut dan merasa bersalah sebagai anak kepada kedua orangtua saya. Saya takut karena selama ini saya mandiri finansial. Meski tidak berpendapatan tinggi dan tidak bisa setor ke rekening ortu tapi saya bisa memenuhi kebutuhan saya sendiri, mulai dari skincare, baju, biaya berobat, 90 persen buku dan mainan Keefe saya beli dari penghasilan saya, bahkan ngga jarang imunisasi Keefe, konsultasi tumbang Keefe di dokter spesialis tidak saya reimburse ke bapak(nya) Keefe. Sanggup ngga ya saya yang selama ini tidak pernah meminta harus menjalani hidup dengan tidak punya penghasilan sendiri. 

    Terlebih saya merasa bersalah kepada kedua orangtua saya yang menyekolahkan saya sampai di titik ini. Merasa berdosa karena tiga puluh tahun saya hidup saya ga pernah bikin mama papa saya bangga karena ga punya pencapaian hidup apapun. Boro-boro pencapaian hidup, jalan-jalan, makan di luar, masih selalu papa yang traktir :"( 

    Selain itu saya takut tidak bisa memenuhi ekspektasi saya sekarang sebagai ibu ketika sudah resign. Bagaimana kalau saya malah lebih burnout lagi karena tidak terbiasa menjadi ibu rumah tangga. Pelampiasan saya hanya Keefe seorang kan nanti. Ketika saya bekerja, jenuh di rumah saya bisa kabur ke kantor. Kalau saya hanya di rumah bagaimana?

    Saya curhat tentang kegalauan hati saya pada dua teman saya yang ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Saya curhat kalau seperti saya harus memilih. Saya juga pernah curhat ke teman laki-laki saya yang sudah menikah. Saya bilang saya iri dengan pencapaian teman-teman perempuan yang sepertinya seimbang antara karir dan hidupnya sebagai ibu. Kata teman saya cukup melegakan meski sesaat dan selalu saya ingat sampai ketika saya low motivation. "No need to be compare, el. Stiap kluarga punya challenges dr keputusan yg dia ambil. Tinggal go ahead aja. Liat insta story mu kmren2 mah norok senneng (ikut senang) aku. Dirimu super terlibat dlm perkembangan kacong (Keefe). Banyak lho anak2 yang uda ditinggal ortu pisah, ortu sibuk, atau apalah, krg quality time sm anak, dll. Gpp kok. Keefe jg bakal ngarteh (ngerti), apalagi yg eboknya oros  (ibunya urus) itu mahasiswa. Pasti bangga sarah jiyah (banget dia)." Saya baca text itu sambil nangis. Semoga suatu saat Keefe bisa bangga sama saya. Pun mama papa saya. 

    Berbulan-bulan saya galau. Nyata saya dihadapkan pada dua pilihan yang buruk (bagi saya) tapi baik (insyaallah) untuk Keefe (menurut saya sekarang sebagai manusia biasa). Pilihan pertama adalah saya tetap bekerja namun demi mengoptimalkan tumbangnya, Keefe ikut mama berarti saya harus LDR lagi dari Keefe atau Keefe sekolah fullday dengan resiko terpapar virus. Kedua adalah: saya resign :'( tapi saya bisa membersamai Keefe (meski resiko burn out tetap ada, seenggaknya beban pikiran saya lepas dari pekerjaan). Pilihan Kedua adalah pilihan terbaik, lebih mendekati sifat natural seorang Ibu yaaaaa. Tapiiii tetap aja berat memilih keputusan itu. 

    Akhirnya, beberapa bulan lalu saya telpon mama sambil nangis. Saya minta maaf karena sepertinya saya harus berhenti bekerja sementara waktu. Saya ngga mau menyia-nyiakan golden age Keefe. Saya merasa bersalah sama Keefe. Dan saya capek bagi waktu dan tenaga. Saya minta maaf karena belum bisa bahagiain dan bikin bangga mama. 

    Setelah saya mengutarakan maksud resign saya ke mama, sejujurnya saya masih galau dengan keputusan resign. Yakin ngga yakin, rela ngga rela. Masih mempertanyakan kesanggupan diri saya sepenuhnya bergantung finansial pada suami meski sebetulnya saya punya rencana freelance (toh selama ini saya juga punya sidejob pekerjaan itu). Masih berat untuk: YES, RESIGN. Kegelisahan hati saya pada akhirnya berujung juga pada "baiklah, resign" ketika Dicky mengutarakan satu hal yang belum bisa saya ceritakan di sini. Meski itu tidak mengakhiri rasa berat hati saya, tapi mungkin ini yang dinamakan pengorbanan. Mungkin memang saatnya sekaran saya berkorban :'(

    Beban saya tinggal satu (ngga ding, banyak, karena resign masih jadi beban buat saya, tidak resign juga beban buat saya #eaaa dasar manusia), ngomong dari hati ke hati ke papa saya. Kata mama, papa pasti iya-iya aja apapun keputusan saya yang penting sudah bener-bener dipikirin. Tapi saya, tetep mau ngomong langsung ke papa saya. Saya pengen minta maaf langsung ke papa saya. Huhu jadi mellow.

Semoga keputusan ini menjadi keputusan yang tidak akan pernah saya sesali di kemudian hari. Semoga saya bisa bahagia apapun yang saya lakukan, jadi saya bisa bahagiain anak, orangtua, dan tentu suami saya. Aamiin.