Monday, April 8, 2019

Susahnya Membangun Bonding dengan Anak(?)

BONDING. Dulu sih sempet takut karena hanya 3 dalam 7 hari bisa sama Keefe. Tapi ternyata kalau teori waktu bertemu sebanding dengan kelekatan benar, REJEKI kami, itu tidak terbukti. Tiap ada ibunya, Keefe pilih ibunya kok. Alhamdulillah, masih pilih nenen daripada dot yang lebih banyak menemati hari2nya. Keefe tetap sumringah ketika ibunya datang dan mulai menangis ketika ibunya pergi. Mama akhirnya bilang, "Nah kan, kekhawatiranmu ga terbukti" saat tangan Keefe meminta digendong ibunya padahal sedang digendong Emak Keefe. Selain karena darah memang kental, usahalah yg lebih nyata. Kalau saya ngga sering kena marah mama, mungkin tiap pulang saya lebih dekat HP ketimbang Keefe. Meskipun makin kesini main sama Keefe makin bisa dua arah, jujur aja, sering ada rasa bosan, gatel pengen buka2 ig. Untung ada mama dan Al yang ngingetin dan teriak, "HP meloloh".

Itu adalah cuplikan caption IG yang saya unggah di kampus. Kemudian di perjalanan pulang ke kos saya mulai berpikir. MIKIR karena takut saya terlalu jumawa mengklaim diri bahwa saya punya ikatan yang cukup kuat dengan Keefe meski kami LDR. Kalau besok tiba-tiba Keefe ngga mau nenen gimana? Semua hal mungkin terjadi. Bahkan teman saya yang anaknya 14 bulan, ditinggal 8 jam sehari bisa mogok nenen berarti resiko saya akan Keefe tiba-tiba ogah nenen jauh lebih besar. Lantas apa kemudian saya cukup berbesar hati menerima perkataan, "iya jauh sih, makanya ngga mau nenen, sayang ya padahal itu bonding".

Buat yang belum tau, saya LDR dengan Keefe (11m), Surabaya-Pamekasan. Rutin ketemu kamis malam (atau Jumat malam) sd Minggu siang. 

Tentu tidak. Keefe sering bangun lebih pagi daripada saya kemudian main sama mama. Sampai akhirnya saya berhasil buka mata. Saat liat saya bangun dengan muka bantal Keefe dengan semangat 45 nyamperin saya atau minta gendong sama saya sekalipun dia lagi digendong emaknya. Bukan yang bodo amat liat ibunya sambil pasang tampang itu siapa ya.

Itu semua karena saya ibunya juga belum sepenuhnya benar. Karena kalau saya ngga sering diingatkan mama untuk lepas dari HP ngga menutup kemungkinan Keefe ngga kenal saya. Di rumah, saya berusaha banget main sama Keefe, teriak ngoceh ngga jelas demi buat Keefe ketawa. Berusaha BANGET menepis rasa bosan dan capek. Main sama bayi capek juga ya. Kalau inget cuma tiga hari loh baru jauh-jauh dari HP. Iya, HP ini bikin kacau.

Terus saya mikir. Mikir terus sampai saya menulis inipun masih mikir. Kita-kita yang yakin sudah cukup membangun bonding dengan anak dengan: di rumah aja lah, dih amit-amit LDR, ASI Eksklusif dong, MPASI rumahan, no nanny, no daycare, dan sebagainya, yakin ikatan kita dan anak akan cukup kuat sampai seterusnya sampai mereka dewasa? Yakin?

MASIH dalam pikiran. Bener ngga sih, anak-anak kita yang masih kicik-kicik itu cukup kuat bondingnya dengan kita? Yakin? Bukan karena hanya kita satu-satunya orang dewasa yang mau mencoba memahami mereka? 

Pernah ngga membayangkan gimana kalau nanti anak kita ngga lagi dekat dengan kita saat dia mulai sekolah? Mulai dewasa, Punya sahabat? Punya pacar? Atau saat kita sendiri orangtuanya yang kebingungan gimana atur bonding saat kerjaan numpuk, anak les ini itu, PR banyak, masalah pubertas?

Pernah ngga punya temen yang sampai nikah punya anak pun tiap hari telpon ibunya? Sekadar tanya sedang apa atau masak apa atau sudah mandi belum. Terus terlintas, "wah deket ya sama ibunya pasti dulu ibunya ASI Eksklusif, pasti ibunya IRT" atau malah mikir "dih apaan sih, manja banget telpon mulu, udah gede ah".

Ada ngga temen yang selepas SMA, kuliah, dan punya anak, seminggu sekali telpon orangtua, kadang seinget atau malah kalau pas ada yang ditanyakan aja telpon orangtua? Mikir ngga, "pasti dulu anak sapi nih minumnya sufor jadinya cuek ke orangtua, bondingnya kurang sih" atau "gimana sih kok orangtua ngga ditelpon. Malin Kundang kao ya".

Yah itulah rakyat. Kuliah hukum tidak tapi pintar menghakimi. 

Kalau mau buka mata lebar-lebar banyak di luar sana ibu-ibu yang 24/7 bersama anak tapi masih kalah saing sama bapak yang cuma punya waktu kurang dari 8 jam sehari untuk main sama anak. Ngga sedikit ibu full SUFOR bisa jadi sahabat sama anak sampai mereka besar. Dan ADA, masa kecil udah kaya main telepati sama anak saking dekatnya tapi bisa terkikis waktu dan kondisi lainnya yang membuat mereka saling cuek bebek satu sama lain saat dewasa. 

Intinya apa sih? Intinya saya tetap mikir, galau, dan berharap. Kalau dikasih dua pilihan diatas tadi, saya mau saya pengen nanti setelah Keefe dewasa dimanapun Keefe berada dia ingat saya, telpon saya tiap hari biar cuma semenit. Meskipun telpon mungkin ngga bisa dijadikan tolok ukur. Yang penting mah inget dan berdoa buat ortu, gitu kali ya. Tapi biar, buat saya telpon adalah salah satu bukti nyata ingat orangtua dan meluangkan waktu. Bukan kalau ada waktu luang. (Saya tiap hari telpon mama,  meskipun seringnya ditelpon sih, uhuhuh, I love you ma).  

Saya galau takut kehilangan ikatan batin makanya saya tetap berusaha membangun bonding dengan Keefe apapun caranya meski sampai saat ini saya tetap memilih LDR dengan Keefe. Saya tetap mau dan sedang mengusahakan apapun yang terjadi nanti Keefe cari saya untuk sekadar cerita apapun yang dia rasakan. 

Saya galau saya takut kehilangan ikatan batin dengan Keefe dengan tidak judge ibu-ibu lain. 

Sepele, takut kualat. Karena hasil saya berpikir sore ini kesimpulan sementara adalah Tuhan maha membolak-balik kan hati manusia. Jika yakin sekarang kami dekat meski kami jauh bukan berarti kami terbebas dari kami jauh meski (nanti) kami (sudah) dekat.

Keefe masih mau nenen langsung meskipun kurang dari setengah minggu kami bertemu. Dan kemarin botol susunya dilempar lalu dia tarik baju saya minta nenen. Itu REJEKI dari Allah karena saya memang tidak berbuat apa-apa, dulu saya cuma galau takut Keefe bingput. Tidak lantas membuat saya berhak menghakimi ibu sufor yang mungkin jungkir balik jumpalitan berusaha menyusui lalu gagal. Bahkan ibu sufor yang memang pilihannya demi menjaga kesehatan mental dan fisik dirinya demi keharmonisan keluarga. 

Sereceh ngga ada jaminan ikatan batin ibu yang menyusui langsung lebih kuat daripada ibu exclusive pumping, ikatan batin ibu ASI lebih hebat daripada ibu suforikatan batin SAHM lebih dahsyat daripada Working mom. Pun sebaliknya. Banyak jalan menuju roma, banyak pilihan menuju bonding yang kuat. Dia ngga menyusui, ketemu anak cuma 12 jam dalam seminggu, tapi saat bertemu fokusnya cuma anak ngga terdistraksi apapun, gimana? 

Mari sebelum menilai orang lain mari koreksi diri, cukup kuat dan intens kah kita membangun bonding dengan anak? Renungi yuk.

No comments:

Post a Comment