Monday, November 26, 2018

Hati-hati dengan Hati

Tempo hari, saya dibuat berpikir oleh berita yang dimuat oleh detiknews.com. Berikut kutipannya:
"Jakarta - Pembunuhan karena tersinggung atau sakit hati marak terjadi belakangan ini. Menurut data kepolisian, hingga September 2018, ada sekitar 500 kasus pembunuhan yang di antaranya disebabkan oleh ketersinggungan.". [Selengkapnya]

Saya tertohok, kemudian iseng googling dengan keyword "bunuh diri karena tersinggung". Tidak sebanyak berita yang memuat kasus pembunuhan karena tersinggung, tapi saya dapat berita bahwa tersinggung juga salah satu motif seseorang untuk bunuh diri.

"TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Inspektur Jenderal Boy Raffli Amar, menjelaskan penyebab maraknya polisi yang bunuh diri. Menurut dia, manusia mempunyai batas dan ada orang-orang yang tidak mampu menahan tekanan psikologis dan psikis. "Akhirnya cari jalan pintas," ujarnya di kantornya, Selasa, 11 Oktober 2016.

Boy melanjutkan, Polri menyesalkan maraknya kasus bunuh diri yang dilakukan anggotanya. Apalagi, kata dia, pada 2016 ada 16 kasus polisi yang bunuh diri. Menurut Boy, kasus bunuh diri juga disebabkan beberapa hal, yakni sakit, tersinggung, asmara, minuman keras, dan utang-piutang. "Sebagian kecil akibat beban pekerjaan," ujarnya. (baca disini)

Kemudian, saya termenung. Memikirkan dan mempertanyakan kenapa perasaan serumit dan mulut semudah itu berucap.

Berkaca pada diri sendiri. Dulu, biarpun tersinggung dengan ucapan orang, biasanya saya mudah untuk melupakan meski tanpa maaf. Sekarang, sejak jadi ibu apalagi yang disinggung soal anak, saya jadi wanita yang ingat segala kesalahan orang lain. 

Yang membuat "menderita" itu (menurut saya) bukan hanya dari lukanya hati, tapi dari diamnya hati. Saya sering tersinggung dengan ucapan atau perbuatan orang, tapi tidak jarang saya biarkan. Saya jarang menegur orang. Saya tau, Sakit hati menumpuk bisa jadi bom waktu. 

Pernah saya curhat pada teman, bahwa saya ingin Keefe menjadi orang yang bisa mengungkap segala apa yang dia rasakan, mampu marah jika memang dia harus marah, bisa menegur jika orang lain salah, sadar meminta maaf jika salah, dan ikhlas memaafkan. 

Kemudian saya disadarkan dengan sarannya, "kamu mau Keefe begitu, artinya kamu juga harus belajar gitu, el, belajar marah, belajar negur"--Kira-kira begitu katanya. 

Benar juga

Entah, kadang saya diam karena saya malas ribut, tapi seringkali saya justru takut membuat orang lain terluka. 

Kemudian, saya berpikir, "Jika saya selalu jaga perasaan orang lain, siapa yang akan menjaga perasaan saya?" Baiklah. 

Saat ini, karena tidak selalu mampu menegur, maka saya belum menemukan cara yang tepat selain menjauhi lingkungan atau orang-orang yang berpotensi membuat saya "insomnia". Ada tips?



No comments:

Post a Comment