Thursday, March 14, 2019

Jakarta (Ngga) Sekejam itu !

Oh well, buat saya Jakarta itu adalah kota kenangan. Mengalahkan Surabaya yang lebih lama saya tinggali sebagai perantau. Saya ngga lama tinggal di Jakarta, boleh dibilang cuma mampir malah. Tapi why Jakarta so ngangenin sih.  

Beberapa bulan lalu saya benar-benar sekadar main ke Jakarta. Begitu duduk di bajaj saya senyum-senyum sendiri lihat lampu-lampu ibukota. Sekangen itu ternyata. Satu yang belum kesampaian. Naik Transjakarta dan KRL. Dua ding.

Di Jakarta saya belajar banyak hal. Apakah itu perjuangan? Sebenarnya saya belum terlalu bisa memaknai apa perjuangan itu sih. Yang nyata, Jakartalah yang membuat pikiran saya terbuka tentang perbedaan. 

Hari pertama kerja, saat jam istirahat begitu turun lift untuk cari makan siang, saya dikagetkan segerombolan perempuan-perempuan berbaju rapi merokok di lobby kantor. Pemandangan yang tidak biasa saya lihat. Sebelumnya, lingkungan saya tinggal penuh stereotype perempuan merokok itu negatif. Jakartalah yang mengajari saya untuk tidak serta merta bergumam, "baik sih, cantik sih, sayang perokok". 

Soal agama pun. salut. Bukan karena kealimannya. Haha. Justru angkat topi terhadap mereka yang berani bilang, "gue belum percaya Tuhan". Dan lagi-lagi, saya belajar untuk tidak berkata, "baik sih, sayang atheis". Karena toh nyatanya mereka yang tidak mengenal Tuhan justru  lebih mampu memanusiakan manusia dan berbuat baik tanpa pamrih surga. #Ampunjanganbullysaya, lol

Oke itu bagian serius yang bisa saya ingat sih. Dikit banget tapi dalem. Perbedaan dan pilihan adalah hak segala umat #halah

selanjutnya, tiga bulan pertama, saya seperti kehilangan kehidupan. Ciputat-Kebon Sirih-Ciputat menyita empat jam lebih waktu saya di jalan. Jam 6 teng saya harus sudah berdiri di trotoar depan Kampung Utan untuk naik APTB sampai halte BI atau Sarinah. Begitu naik, pemandangan yang terlihat adalah orang-orang beruntung yang tidur nyenyak di kursi penumpang sambil mangap pake headset. Saya yang susah tidur ini akhirnya bisa terlelap sambil gelantungan di bis. Sekitar jam 8 saya sampai di Halte Sarinah. Kalau ngga males, saya jalan kaki sekitar 20 menit untuk sampai di depan Grand Kebon Sirih. Kalau mager, saya milih naik Kopaja yang terkenal slengean penuh copet itu. Berdiri di depan pintu, yang kalau mau turun  harus setengah loncat karena Kopaja ngga pernah benar-benar berhenti sempurna. 

Pulang kerja jam 5 sore mau ngga mau saya harus jalan kaki ke halte, karena jalanan Kebon Sirih jalan searah. Kalau beruntung di Blok M saya bisa duduk, kalau apes ya bablas berdiri sampai Lebak Bulus. Sampai rumah jam setengah 8 malam. Tenaga saya udah abis, gaes. Selama tiga bulan itu saya ngga pernah lagi insomnia karena mentok jam 10 malem kekuatan melek mata. 

Di kantor kedua, alhamdulillah ya jalanan lebih bersahabat. Salim sama Nadim Makariem. Saya berangkat jam 9 pagi setelah order Gojek. Jam 10 sudah di kantor. Meskipun pulang kerja, effort lebih besar karena Gojek-KRL-Gojek untuk bisa selonjoran di kasur Ciputat dari Senopati.

Dulu saya jago banget loh nonton drama korea sambil berdiri tanpa pegangan di KRL. Penting ini. Skill nyata yang diperoleh dari hidup di Jakarta lol.

Di Jakarta pun, saya teracuni lipen yang candunya ngga sembuh sampai saat ini. Why cewek cewek Jakarta tetap memesona meski warna bibirnya hijau sih? 

Kalau ditanya, mau ngga balik Jakarta? Kalau untuk kehidupan lebih baik, why  not?

No comments:

Post a Comment