Thursday, December 6, 2018

Tentang Perceraian

Hmm, saya agak takut menulis soal ini. Entah takut sotoy dan kualat wkwk.

Yang lagi heboh saat ini siapa lagi kalau bukan pasangan GG. Pertama kali dengar mereka mau cerai dari mama. Karena saya fans berat Gempi, komen pertama yang muncul adalah kasian gempi. Komen setelah berpikir ya semoga jalan terbaik menuju kebahagiaan.

Pas liat Gisel-Gading jumpa pers, yang ada dipikiran saya, baik gitu kok cerai sih. Kemudian, wah hebat ya memilih dan sanggup berpisah dengan baik untuk Gempi.

Muncul tagar saveg3mp1 (biar mengurangi bacaan soal hestek itu). Padahal mungkin alasan GG memutuskan berpisah malah untuk menyelamatkan Gempi.

Dulu sekali, ketika dengar berita soal perceraian yang ada dibenak saya pasti kasian. Tapi lambat laun terutama setelah menikah saya jadi ubah haluan. Saya pernah baca quote kira-kira begini bunyinya, "marriage is not a noun, its a verb". Maksudnya mungkin pernikahan itu adalah usaha, kata kerja. Yang memang harus dikerjakan, diusahan untuk bahagia. Tapi setelah diusahakan terus menerus tapi tidak bahagia-bahagia bagaimana?

Yaa berusaha dong mempertahankan demi anak. Hmm, dulu waktu masih kecil saya cukup sering mendengar orang tua saya bertengkar. Memang tidak di depan saya. Mereka pasti bertengkar malam saat saya sudah tidur dan di luar kamar. Tapi ya karena rumah cuma seuprit, saya sering terbangun. Saya takut, saya sedih, tapi saya pura-pura untuk tetap tidur. Besoknya saya diam saja seolah tidak terjadi apapun. Setelah saya dewasa saya baru cerita ke mama kalau saya tau setiap mama dan papa bertengkar, apa persoalannya pun meski dulu saya kecil, saya ingat dan saya paham. Saya jadi membayangkan jika itu terjadi terus menerus? Bagaimana mental saya?

Lain cerita, saat ini salah satu keluarga terdekat berada di ujung tanduk. Bolak balik wacana cerai, tapi tak kunjung terealisasikan. Ooh sudah baik-baik? Tidak. Malah lebih sering bertengkar, bahkan di depan anak. Hash, saya yang dengar langsung nyeletuk, "kenapa ngga cerai-cerai sih?"

Sisi lain. Dulu misal mendengar ada suami yang KDRT tapi istri bertahan dalam biduk pernikahan, saya sebal dan (mungkin tanpa) berpikir langsung bilang, "kalau aku mending cerai". Tapi setelah punya anak, saya jadi bisa merasakan slogan "demi anak" memang nomor satu. Kemudian lagi-lagi saya merenung, ah katanya happy parents happy kids. La kalau orang tuanya bagai neraka bagaimana bisa memberi surga pada anak?

Saya ngga pernah diskusi soal perceraian sama Dicky yang memang punya latar belakang orang tua yang bercerai. Saya pun tidak pernah merasakan bagaimana rasanya jadi anak broken home. Tapi rasanya jika memang sudah tidak "satu" lagi, mau pisah atau bersama, anak tetap jadi korban. Yang bisa diusahakan adalah menepis ego agar anak tidak sakit meski jadi korban, apapun jalan yang harus dipilih.

Mempertahankan? Pertahankan sekuatnya, cari jalan untuk bahagiakan diri dan pasangan terlebih dahulu. Cari cara untuk cinta lagi, ingat lagi bagaimana dulu mengusahakan pernikahan. Kedua belah pihak berusaha, bukan salah satu saja. Setelah orang tua menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya, anak pasti ikut bahagia kok.

Cerai? Cerailah dengan baik-baik, jadilah partner yang baik dalam merawat dan mendidik anak. Susah? Mungkin, tapi banyak mantan pasangan yang sukses menjalankan ini, damai tentram dengan pasangan baru, kompak merawat anak.

Sebelum menikah, calon pengantin pasti akan berulang kali meyakinkan diri untuk menikah, nah apalagi bercerai. Menurut saya, pasangan yang memutuskan untuk bercerai pasti akan berpikir seribu kali lebih banyak daripada saat mereka memutuskan untuk menikah. Iya ngga sih? *mikir

Mungkin, kalian yang baca ini akan bilang, "halah bacotmu, anak kecil". Iya, pernikahan saya memang masih seumur jagung. Makanya tadi di awal, saya bilang saya takut kualat lol.

Semoga saya, Dicky, dan Kipkip selalu bahagia.

No comments:

Post a Comment