Tuesday, September 24, 2019

Jarak, Sekolah, dan Uang

Gue nulis ini bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang kenapa gue memilih untuk jauh dengan anak padahal gue udah ada rumah. Gue nulis ini adalah bentuk apresiasi terhadap diri gue sendiri yang berhasil memilih dan memilah mana yang gue (gue bukan kalian) pikir terbaik.

Gue hidup 24/7 sama anak gue, Keefe, itu cuma di dua bulan kehidupannya. Setelah itu kami berjauhan Pamekasan-Surabaya on weekdays. Bulan puasa kemarin, gue menempati sebuah rumah yang mungkin seharusnya buat orang-orang adalah sempurna buat gue untuk tinggal dengan Keefe. Tapi ternyata tidak demikian.

Gue dan Dicky ngga pernah tinggal bersama sejak detik ijab kabul sampai saat ini. Pernah ada rencana untuk tinggal bersama dengan gue harus ikhlas meninggalkan pekerjaan gue untuk ikut Dicky di rantau. Jalan Allah dan gue syukuri banget sekarang itu ngga terjadi, hahaha.

Selama ini Keefe diasuh mama, yang harus membagi peran sebagai ibu untuk adik bungsu gue yang masih kelas 6 SD dan sebagai nenek untuk Keefe, cucunya. Gue harus berterimakasih sama adik gue yang ikhlas mamanya membagi kasih dan belum pernah terlihat iri atau cemburu karena anggota keluarga baru. Al, adik gue, harus rela mama gue boyong seminggu, dua minggu, bahkan tiga minggu ke Surabaya dengan raut muka sedih dan bahagia ketika mama pulang.

Gue pernah "ditegur" kolega, kenapa ngga daycare atau Dicky yang akhir-akhir ini selalu menawarkan ART untuk asuh Keefe selagi mama gue pulang ke Madura. Yes, karena gue ngga bisa handle Keefe 24/7 karena gue working mom. Selain Al, gue juga harus merelakan waktu gue sama Keefe ketika mama harus pulang ke Pamekasan dengan membawa Keefe ikut serta.

Gue pilih lebih baik Keefe dibawa mama daripada deket sama gue tapi bukan gue sendiri yang mengurus Keefe. Gue mungkin ngga seperti kebanyakan ibu-ibu "normal" lainnya yang ngga bisa jauh sama anak. Karena gue memang bisa. Gue juga ngga pernah menyangka gue akan setegar ini jauh sama anak.

Untuk urusan anak, entah kenapa mungkin gue bukan tipe ibu melankolis meski tiap hari saat gue jauh sama Keefe gue selalu ketakutan Keefe akan menyapih dirinya sendiri, tapi gue ngga pernah nangis saat gue harus ninggalin Keefe di Pamekasan. Gue ngga pernah merasa bersalah yang gimana-gimana ketika Keefe meraung mau ikut gue motoran saat gue berangkat kerja. Ngga pernah terlintas gue berhenti kerja aja dah.

Gue juga bukan tipe ibu romantis, yang selalu bilang menyusui adalah hal yang paling indah, karena meski gue belum siap untuk menyapih tapi gue dengan yakin bilang bahwa menyusui (baca: direct or pumping) itu melelahkan.

Judge me. Gue tau resiko nulis ini adalah gue bakalan dicap ibu durhaka karena gue ngga punya rasa yang sama seperti mayoritas ibu-ibu.

Tapi, gue justru merasa bersalah, ketika gue egois hanya demi gue diakui sebagai ibu yang baik dengan memaksakan Keefe daycare atau diasuh ART.

Jaman hamil, gue bilang sama temen gue yang kondisinya dulu sama kaya gue saat ini. Gue bilang, "gue ngga mau dan ngga bisa jauh sama anak gue nanti" yang berakhir gue survei sana sini daycare terdekat dari tempat kerja gue. Gue datengin tempatnya dan saat itu juga ngga mau daycare model begitu.

Waktu itu gue belum punya rumah. Tapi gue tau kondisi daycare yang gue datengin itu jauh dari layak. Ngga ada cahaya masuk. Meski secara fasilitas layaknya daycare pada umumnya dengan konsultasi dokter anak, dokter gigi, dan psikolog secara berkala.

Waktu berlalu sampai akhirnya gue melebarkan sayap mencari daycare di dekat rumah gue. Sama. Ada sih, rumah gede dan cahaya masuk tapi satu nanny pegang lebih banyak bayi. Gue simpulkan bahwa ada harga ada rupa. Daycare yang masuk kriteria gue ngga berada dalam rentang harga yang masuk di kantong gue dan Dicky. Pilihan gue cuma dua: (1) gue memaksakan diri gue untuk masukin Keefe di daycare dengan bayaran 2/3 gaji gue dan harus merelakan dana darurat, dana pensiun, dan dana pendidikan Keefe gue pangkas untuk bayar daycarenya atau (2) gue mengalah biarlah Keefe di bawa mama gue ketika jatah mama di Pamekasan. Karena sebenarnya mama juga berat banget untuk ninggalin Keefe di daycare atau ART.

Opsi daycare sesuai kantong dan ART gue coret dalam daftar pilihan. Gue ngga mau karena egoisme gue (yang mungkin lebih wajar dan jadi pilihan untuk orang lain) gue harus mengorbankan Keefe. Mengapa?

Di rumah, mama gue dan bibik (tante) gue menstimulasi Keefe dengan baik. Gue fasilitasi Keefe buku-buku yang juga dimanfaatkan oleh mama, bibik, dan adik-adik gue untuk ngajak Keefe main. Gue tidak menolak Screentime tapi gue membatasi dan semua orang di sekitar gue menyepakati itu. Mama, bibik, dan orang-orang di sekitar Keefe ngga pernah menggunakan bahasa bayi. Sensorik Keefe terlatih karena dia sering ngerecokin mama gue ketika beliau sedang baking. Gue beli mainan edukatif dengan kondisi rumah baik rumah suami atau rumah orangtua gue yang layak. Mama, bibik, menghandle Keefe dengan baik sekali. Sosialisasi? Gue ajak Keefe main tiap sore di komplek rumah. Keefe selalu menyapa satpam tanpa diminta. Banyak banget temen seumuran Keefe yang sering main di rumah gue. Gue sering ajak Keefe ke kampus. Dan kata temen-temen gue cukup berani bersosialisasi dengan orang baru. Lantas kenapa gue harus "menitipkan" Keefe dengan menurunkan standar gue untuk sekadar bersama Keefe beberapa jam saja?

Haruskah gue menitipkan Keefe di daycare (dengan bayaran) semampu gue tapi dengan fasilitas pengasuhan di rumah yang jauh lebih baik? Demi apa? Demi gue bersama Keefe di mana beberapa kali dalam seminggu gue ada jadwal ngajar malam?

Ketika ada orang yang bilang "kasihan Keefe" pas gue harus ninggalin Keefe sama mama. Sorry buat gue kasihan Keefe ketika gue "menitipkan" Keefe tidak pada orang yang tepat dan tempat yang layak.

ART? Setelah sekian bulan bergaul setiap sore dengan mbak-mbak ART gue jadi punya gambaran. Tiap sore itu cuma gue, ibu yang menemani anak main di komplek. Anak-anak lainnya main sama mbak ART. Masa yaa, waktu itu Keefe, Al, main bola sama Pak Satpam yang sedang tidak bertugas. Ada anak yang lebih besar dari Keefe mau ikutan main. Terus diteriakin dong sama mbaknya, " (sebut saja) ardiiii jangan main. Awas ya jatuh mbak jewer". Elahh. Apaan jatuh malah di jewer.

Ada juga mbak yang nyuapin anak makan tapi sendoknya juga masuk ke mulut mbak itu sendiri. Mungkin ada yang ngga mempermasalahkan itu. Tapi ngga buat gue. Gue ngga mengeneralisir bahwa semua mbak nanny model begitu. Tapi sudahlah, gue ngga mau ambil resiko. Pengawasan Keefe dengan mbak di rumah lebih serem daripada Keefe di daycare (yang mampu gue bayar). Kenapa sih selalu gue perjelas soal bayaran? Yaiyalah, karena daycare yang gue mau, yang sesuai standar gue, yang pengasuhan dan pembelajarannya lebih baik dari yang bisa gue atau mama gue berikan di rumah ngga mampu gue bayar. Wkwkwk. Kalau kalian menyarankan Keefe untuk daycare, sini bayarin SPPnya juga dong.

Keefe diasuh mama, dititip daycare, di rumah sama mbak semua pilihan itu bukan gue yang handle dengan tangan gue sendiri. Gue memutuskan Keefe untuk tetap diasuh mama setelah gue mendaftar pros and cons nya. Tentu dong gue pilih yang maksimum pros dan minimum consnya. Dan buat gue, Keefe sama mama adalah pilihan terbaik. Bounding berkurang karena Keefe lebih sering di Pamekasan daripada sama gue? Nggak. Ada gue, Keefe milih sama gue. Tiap bangun tidur tetep tarik tangan gue untuk main.

Ngga kasian kalau Keefe nangis pas gue tinggal? Yah Keefe selalu nangis kalau dia ngga diajak pergi. Mama, Erik, Papa, Dicky, bibik, pergi tanpa ngajak Keefe pasti doi nangis. Ngga sampe semenit selesai.

Consnya adalah gue harus nahan kangen pas Keefe di Pamekasan, gue harus H2C Keefe tersapih, bersusah payah berdamai dengan keadaan, dan gue bolak balik harus menata hati yang gue kira sudah kokoh dengan membiarkan Keefe sama mama harus ambyar kemudian gue tata ulang serpihan serpihan itu ketika gue di judge oleh orang terdekat gue yang menurut gue seharusnya membesarkan hati gue. Gue ngga peduli orang lain mau ngomong apa tentang gue karena gue anggep kentut. Yang bau tapi lama-lama ilang juga baunya.

 Tapi gue bakalan ancur banget kalau itu orang terdekat. Tapi lagi-lagi biar bagaimanapun ini resiko dan konsekuensi yang harus gue pilih. Bentuk cinta gue buat Keefe.

Kenapa ngga berhenti kerja aja sih? Sorry gue kerja adalah koentji gue tetap waras dan membahagian Keefe dengan cara gue.

No comments:

Post a Comment